Advertisement

Responsive Advertisement

Ngalor Ngidul Nemu Tulisan Jadul

Tulisan ini saya usahakan sebisa mungkin dapat merepresentsikan kenyataan yang ada dalam diri saya perihal dunia Blogging. Saya merasa bahwa saya memang termasuk golongan orang-orang yang terlambat nge-blog.
Sumber gambar: Askideas.com

Tentu saja keterlambatan tersebut harus ada titik tolok ukurnya. Yakni bahwa orang-orang yang lebih dulu nge-blog dibanding saya, sejauh pengamatan saya pribadi, mereka kini tergolong sebagai blogger handal. Mereka sekarang sudah banyak memahami istilah-istilah blogging yang bagi saya bahkan banyak yang masih baru mendengarnya. Bahkan, saran-saran mereka selalu dinanti-nantikan oleh para blogger pemula.

Nah, jika dibandingkan dengan mereka yang sudah sekian tahun nge-blog itulah saya termasuk dalam golongan orang-orang yang terlambat nge-blog.

*Catatan: istilah blogger dengan huruf "b" kecil akan merujuk pada orang yang gemar nge-blog. Sedangkan nanti jika ditemukan kata "Blogger" dengan huruf "B" besar (kapital), itu artinya merujuk pada produk Google khusus dunia Blogging.

Sebelum saya bercerita kian panjang mengenai blog, saya akan sedikit bercerita terlebih dahulu mengenai suatu hobi saya yang cukup saya jaga hobi tersebut dari dulu hingga kini. Apa hobi saya yang termaksud? Ialah membaca serta menulis.

Saya merasa amat bersyukur lantaran memiliki hobi membaca. Utamanya membaca buku-buku, baik buku-buku genre sastra, maupun non-sastra. Ada satu-dua buku yang bagi saya sangat mengesankan. Adalah Tetralogi Roman Buru karya Almarhum Pramoedya Ananta Toer. Saya, pertama kali membaca buku itu dari rekomendasi teman yang kuliah di Yogyakarta.

Tentang buku tersebut, teman saya tadi cukup unik dalam mengenalkan buku itu kepada saya. Ia, meminjamkan 1 buku terakhir dari empat buku tadi terlebih dahulu. Kemudian buku ketiga sesaat usai buku terakhir (ke empat) saya khatamkan. Lalu buku ke tiga, kemudian ke dua, baru akhirnya saya baca buku pertama tetralogi luar biasa itu yang berjudul "Bumi Manusia".

Setelah ke empat buku tadi saya baca semuanya dari akhir hingga awal, teman saya tadi selanjutnya meminta waktu pada saya khusus untuk mengobrolkan mengenai buku roman tadi. Dan jadilah kami berdua, kemudian berdiskusi santai membahas isi buku tersebut.

Kegemaran saya dalam membaca buku, pada kemudian hari ternyata bukanlah sebuah kegemaran yang layak dibanggakan. Memangnya, apa sih yang bisa dibanggakan dengan sekadar "gemar membaca buku"? Pada detik ini, sekaligus saya mendengar seorang Kyai yang sangat saya hormati berkata;

"Membaca buku itu bukan hobi. Kalian akan ditertawakan jika di luar negeri seperti Jepang atau Inggris misalnya, ditanya apa hobimu kemudian kalian jawab 'membaca buku.'. Karena bagi orang-orang berpikiran maju, membaca itu bukan lagi sekadar hobi. Ia sudah menjadi kewajiban tiap hari sepadan dengan kewajiban kalian untuk makan dan minum."

Saya sungguh tercengang dan tergugah saat itu manakala mendengar kalimat barusan. Saya sejauh ini, cukup sering membanggakan diri karena saya memiliki hobi membaca. Berkali-kali, ketika saya sedang berada di perpustakaan atau toko buku, saya membagikan foto saya yang tengah memilah-milih buku pada teman-teman saya melalui media sosial. Saya mengira bahwa saya akan dianggap keren ketika dengan bangga membayar sebuah buku berjudul "Perang Suci" karya Karen Armstrong di toko buku. Sikap membanggakan diri karena merasa sebagai manusia yang dekat dengan buku-buku itu memang dulu sering saya pamerkan di media sosial.

Namun, itu sudah berlalu lama. 4-5 tahun silam. Saat ini, saya sudah tak pernah lagi memamerkan buku apa yang baru saja saya beli. Saya juga tak lagi memamerkan kegiatan saya seperti misalnya membuat pos foto di media sosial dengan caption "#NowReading: Perempuan Bernama Arjuna - Remy Sylado".

Hal-hal seperti itu sudah cukup lama saya tinggalkan. Saya sadar bahwa ketika saya membaca buku, bukan itu yang ingin orang-orang (teman-teman saya utamanya) ketahui. Mereka, saya kira lebih ingin saya tak sekadar pamer hobi seperti dulu itu. Saya kira mereka lebih ingin saya mampu mengambil kemanfaatan dari buku yang telah saya baca, kemudian saya membagi kemanfaatan tersebut kepada mereka.

Dari situ, saya kemudian mulai belajar menulis. Tentu yang saya maksud bukanlah sekadar belajar menulis laiknya anak-anak pra-TK. Tetapi lebih dari itu. Saya belajar menulis suatu artikel dengan menggunakan referensi dari buku yang saya baca.

Awalnya, saya begitu sulit untuk menuliskan hal semacam itu. Saya merasa sukar menuliskan hal-hal yang berdasarkan fakta dan data akurat, atau berdasar buku-buku yang saya baca pun.

Yang terjadi kemudian, saya mencoba memahami kekurangan saya tersebut hingga pada akhirnya saya menemukan solusi yang menurut hemat saya cukup menjadi solusi jitu atas kekurangan yang melanda diri saya. Apa solusinya? Menulis fiksi.

Barangkali bagi sebagian kalian yang membaca cerita saya ini akan heran. Saya menulis dengan bantuan referensi data saja kesulitan, bagaimana bisa mengarang sebuah cerita?

Namun demikian, memang begitulah yang ternyatakan. Saya memilih menulis cerita fiktif. Meski seperti umumnya kisah fiktif, tak seluruhnya berupa hasil imajinasi liar saya. Sebagian, saya urai dan tulis berdasarkan kisah yang saya alami sendiri, atau yang dialami oleh orang lain.

Dengan "ditemukannya" solusi tersebut, saya kembali menemui masalah. Malu. Iya, saya malu dan kurang pede jika karya saya dibaca oleh orang lain. Saya merasa tak yakin bahwa cerita yang saya tulis akan mendapatkan kredit posiif dari orang-orang. Namun demikian, entah karena apa, yang jelas, kemaluan dan ketakpedean saya itu perlahan-lahan sirna dengan sendirinya. Saya, saat ini bahkan sudah tidak peduli apakah orang lain akan menilai positif tulisan saya atau tidak. Saya tak lagi pedulikan itu. Biar terserah orang lain akan berkomentar semacam apa atas tulisan saya itu hak mereka. Hak yang sederajat dengan hak pada diri saya yang bebas menuliskan kisah apa saja.

Pada mulanya, saya suka menulis di buku tulis yang sengaja saya beli memang untuk keperluan menulis cerita. Lalu, sejak saya mengenal Blog (kira-kira tahun 2012), saya mulai membiasakan diri belajar menulis di blog. Waktu itu, saya memang pertama kali mengenal blog adalah ya Blogger, yaitu salah satu produknya Google. Namun, karena saya sukar belajar kerumitan kode-kode html, saya akhirnya menyerah dan memilih Tumblr sebagai alternatif media saya menuliskan cerita, atau unek-unek saya.

Lalu pada awal 2014, saya dan beberapa kawan saya sepakat ingin membangun sebuah situsweb berisi berita-berita lokal. Spirit utama kami waktu itu adalah ingin memberikan wadah bagi penulis-penulis di kota/kabupaten kami untuk menunjukkan hasil tulisan mereka dan tulisan kami sendiri juga, tentu saja.

Akhirnya, pada bulan 4 tahun tersebut, kami membeli domain untuk situsweb kami. Mulanya kami sepakat membagi per rubrik untuk ditanggungjawabkan pada satu personal masing-masing dari kami yang waktu itu berjumlah 4 orang. Dalam perjalanan menghidupi situsweb tersebut, kami awalnya memang cukup menjadi perhatian media lain di kota kami karena artikel-artikel yang kami sajikan memang bukan sekdar opini belaka. Namun juga kami sertakan data-data akurat dari sumber tertulis maupun terlisan dari orang-orang kompatibel.

Meski demikian, pada akhirnya, kami kehilangan konsistensi. Kami goyah dan akhirnya situsweb tersebut mangkrak tanpa ada yang mengurusnya lagi. Hal ini dikarenakan tidak adanya komitmen yang jelas antara kami semua. Ditambah lagi dengan jarak-jarak yang memisahkan kami. Kami berempat, memang waktu itu masih memiliki tanggung jawab pribadi masing-masing. Ada yang masih kuliah di luar daerah, dan ada yang kerja di luar daerah.

Terlepas dari itu semua, diam-diam kami berempat bisa dibilang cukup berhasil menapaki "kesibukan" kami masing-masing tersebut. Artinya, yang kuliah juga kuliahnya berjalan dengan lancar, yang kerja juga kerjaannya berjalan dengan baik. Namun, mungkin karena bingung akan memulai lagi atau bagaimana, setiap kali kami bertemu, kami jarang sekali membahas mengenai situsweb yang pernah kami bikin itu. Bahkan hingga sekarang.

Saya yang memang sedari awal gemar menulis karena dasarnya tak pernah mau berhenti membaca, sesekali masih mengirimkan tulisan ke media-media yang mau menerima karya tulisan dari pembacanya. Meski tak semua tulisan saya dimuat oleh mereka, namun sedikit banyak, akhirnya hal tersebut membangkitkan lagi gairah saya untuk kembali menjajaki Blogger. Maka dari itu, pada September-Oktober tahun 2016 silam, saya kembali belajar nge-blog.

Dari penghujung akhir tahun lalu itulah saya memulai lagi membikin blog yang kemudian saya belikan domain melalui teman saya yang sudah saya kenal sebagai blogger handal karena memang sudah mampu memiliki penghasilan dari blog hingga berpuluh-puluh juta rupiah tiap bulannya. Teman saya ini membantu saya membelikan domain yang situswebnya sedang kalian kunjungi ini.

Sampai detik saya menuliskan ini, saya masih merasa jauh dari pantas disebut sebagai blogger. Karena jujur saja, saya bahkan terkadang masih bingung di mana saya harus meletakkan anu agar tampil begitu-begini pada blog sederhana saya ini. Apalagi jika ditanya mengenai monetisasi blog. Sejauh ini, saya masih belum memahami secara menyeluruh mengenai monetisasi blog meski berpuluh-puluh artikel mengenai tips dan tricks-nya saya baca-bacai.

Karena hal inilah, saya, hari dan detik ini, akan kembali fokus pada kegemaran saya saja: Menulis. Sedangkan untuk hal-hal lain seputar blogging, saya tidak akan memaksakan diri saya untuk menguasai sepenuhnya. Pelan-pelan saja saya akan jalani dan hidupi blog saya ini. Setidaknya dengan memiliki blog pribadi ini, saya sekarang sudah benar-benar memiliki tempat yang pas untuk menampung tulisan-tulisan unek-unek atau pun tulisan-tulisan saya lain yang gagal dimuat di media-media besar.

Terakhir, saat menuliskan ini, sampai pada kalimat ini, saya tiba-tiba kepikiran sesuatu yang ingin sekali saya tulis. Rencananya, tulisan yang saya maksud ini akan saya beri judul "Madharat Ngeblog" sebagai "artikel tandingan" atas tulisan-tulisan orang lain yang banyak membahas mengenai manfaat nge-blog.

Sekian.

Salam,
Em.

Post a Comment

0 Comments