Advertisement

Responsive Advertisement

Naik Bus (Bag. 2)


Ini adalah kisah lanjutan dari kisah Naik Bus bagian pertama. Jika kalian merasa belum membacanya, kalian bisa menemukan tulisan itu di sini.

Selamat membaca.
source: wikipedia.org

Saya terbangun dengan gelagapan karena dari kaca jendela bus, tak saya kenali jalannya. Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin saya kebablasan tertidur hingga Pekalongan terlewati. Tidak mungkin!
Dengan masih panik, si bapak
di sebelah saya tanyai.
“Sudah sampai di mana ini, Pak?”
“Baru Brebes, Dik.” Si bapak menjawab dengan santai serta terhias senyum di wajahnya.
“Hah??? Brebes??? Allohurobbi!!!” Saya memekik kaget bukan main. Saya semakin panik dan segera permisi kepada si bapak untuk turun.
“Mau turun di mana seharusnya, Dik?” Bapak itu menanyaiku sebelum aku meninggalkan kursiku. Kusandang tas ranselku seraya menjawab pertanyaan si bapak,
“Pekalongan, Pak.”
“Oooooalah.” Tak saya hiraukan bagaimana ekspresi si bapak kala ber-oalah itu.
Langsung setengah berlari saya menghampiri pintu penyekat. Mengetuknya dan memintanya segera turun. Setelah pintu penumpang dibukakan, dengan sedikit jengkel saya katakana pada kondektur,
“Kenapa saya tak dibangunkan pas di Pekalongan tadi sih??”
“Lho.. Kamu yang tadi…” Belum sampai apa yang sebenarnya akan diucapkan oleh si kondektur, saya segera memotongnya,
“Halahmbuh.” Saya pun turun dan…
Ya Tuhan! Ini kanan-kiri jalan sawah semua?!
Antara nyebut dan misuh menjadi satu. Kurogoh saku celanaku lalu kuambil ponsel dari sana. Kulihat waktu menunjukkan pukul 2 dini hari.
Perasaan saya segera campur-aduk tak karuan. Saya bingung, marah, kesal, takut, lemas, pegal, linu, dan lain-lain lah. Banyak sekali perasaan saya bercampur-aduk tak jelas pada waktu itu. Untunglah percampuran perasaan ini tertolong oleh nalar saya yang masih hidup. Ia menyuruh saya untuk berpikir mencari jalan pulang. Tapi, ya Tuhan, dalam kondisi seperti ini haruskah saya berpikir?
Langkah saya seret ke timur tapi masih di selatan jalan. Artinya saya berjalan kaki melawan arus. Tapi bukan berarti saya sedang mencoba melakukan bunuh diri. Kan saya jalan kaki di trotoar? Jadi tak mengganggu kendaraan-kendaraan yang melintas dong.
“Hoooyyy… Maaaasss… Paaaakkk…. Hoooooooyyyyyy….” Ada suara yang sepertinya ditujukan pada saya di tengah perjalanan menyedihkan saya dini hari itu. Saya pun menoleh. Benar, seseorang dengan becaknya berusaha memanggil saya. Tangannya ia lambai-lambaikan. Saya berhenti berjalan dan menunggu, ternyata lelaki di atas becak itu sudah tua, terlalu tua bahkan untuk bekerja sebagai penarik becak.
“Mau ke mana, Mas?” Nafasnya terdengar ngos-ngosan.
“Pekalongan, Pak…” saya menjawabnya dengan nada lemas namun malah membuat Pak Tua itu kaget. Kemudian ia terkekeh seakan tahu apa yang sedang menimpa saya.
“Kebablasan apa, Mas?” Tanya Pak Tua kemudian.
“Iya. Saya kudu nunggu bus ke Pekalongan di mana, Pak?”
“Saya anter ke terminal saja, ya?”
“Seberapa jauh, Pak?”
“Ya kira-kira setengah jam naik becak saya.”
“Ya ampun! Jauh sekali berarti.”
“Iya, lha ini saja sudah dekat dengan Cirebon.”
“Ya sudah, ayo, Pak.”
Saya kemudian naik becak. Benar-benar jauh. Namun sebelum akhirnya sampai, saat melihat ada warung kecil yang masih buka, saya meminta Pak Tua untuk menghentikan laju becaknya.
“Istirahat dulu kita, Pak. Saya lapar dan rokok saya sudah habis. Kita makan dulu di situ.”
“Iya, Mas.”
Saya membeli rokok, air minum, dan mie gelas. Tak ada nasi ternyata di warung kecil ini. Pak Tua saya tawari mie gelas tidak mau. Beliau hanya memungut rokok yang kusodorkan. Saya kembali naik di atas becak, dan memakan mie gelas saya di sana. Sedangkan Pak Tua nampak santai mengobrol dengan penjaga warung kecil yang, ya Tuhan, baru saya sadari ternyata seorang perempuan matang usia kira-kira awal 40 tahun. Bukan usianya yang menyadarkan saya tetapi ada bagian tubuhnya yang agak “lain”. Saya tak akan menjelaskannya di sini karena ini menyangkut fisik yang sensitif. ;)
“Kita lanjut, Pak?” Kata saya usai menyulut rokok pasca-makan.
“Oh ya. Siap.” Pak Tua segera bangkit dan kembali duduk di belakang saya, mengayuh becaknya. Sebelum menjauh, saya senyumi perempuan penjaga warung kecil tadi. Perempuan itu pun membalas dengan senyuman seraya berkata “Hati-hati…” yang tentu saja ditujukan ke Pak Tua. Kan beliau yang lebih harus berhati-hati karena beliau yang memegang kemudi.
Di sisa perjalanan, saya ngobrol lumayan banyak dengan Pak Tua. Saya sempat menanyai tentang latar keluarganya juga. Lain kali kalau ada kesempatan akan saya ceritakan obrolan saya dengan Pak Tua penarik becak ini.
Sesampainya di terminal, beruntunglah saya langsung menemukan bus yang hendak jalan ke Pekalongan. Saya merasa kelelahan. Lelah bukan yang disebabkan oleh pengurasan tenaga, saya kira. Ini jenis lelah lain yang melibatkan perasaan dan pikiran. Kenapa saya bisa mengalami kejadian seperti ini, ya Tuhan? Oh iya, barangkali ini dimaksudkan Tuhan agar kelak setelah hari itu, saya bisa menuliskannya seperti sekarang ini. Barangkali demikian, agar saya memiliki pengalaman “melelahkan” ini untuk dibagi dengan orang lain.
Saya lupa berapa membayar becak yang saya naiki tadi. Yang saya ingat, Pak Tua itu mendoakan keselamatan saya. Serta, dengan sedikit terkekeh beliau menyarankan agar saya sekuat mungkin untuk tidak tertidur. Saya tertawa mendengar sarannya.
Bus yang saya naiki ini adalah bus kelas ekonomi. Sopirnya, saya perhatikan sudah tua. Keseluruhan rambutnya sudah memutih. Aku duduk di kursi belakang pak sopir. Tepat di belakangnya, di jok untuk 3 orang. Sebelum menjatuhkan pantatku di atas jok, saya menyempatkan diri untuk melihat seisi bus. Hampir semua penumpang sedang tertidur pulas.
          “Bismillahirrohmanirrohim…” Kudengar, bersama deru mesin bus, si sopir membaca basmalah. Saya tersenyum dan ikut membaca basmalah dalam hati

Post a Comment

0 Comments