Seorang
lelaki setengah baya keluar dari sebuah kantor dinasnya yang berdiri sebelah
utara lapangan Mataram kota Pekalongan. Lelaki itu kemudian, di depan gerbang
kantor ia bekerja, berdiri mengeluarkan hape dari saku celananya. Nampak ia
sedang
menelpon seseorang. Sebentar saja lalu menutup sambungan.
menelpon seseorang. Sebentar saja lalu menutup sambungan.
Usai
menelpon seseorang, sesekali ia disapa oleh kawan-kawan sekantor yang
melewatinya dan balik menyapa mereka. Hape di tangannya tak kembali ia masukkan
ke saku celana. Ia seperti sedang membaca-baca sesuatu di sana. Menengok kotak
masuk pesan, mengecheck notifikasi chat, dsb. Tapi nampaknya tak ada sesuatu
yang mengharuskannya memegang lebih lama hape itu. Dimasukkanlah ia kemudian ke
dalam saku celananya.
Baru
saja dimasukkan, lelaki tadi mengeluarkan lagi hape dari saku celananya. Ada
panggilan masuk. Ia jawab panggilan itu. Kali ini ia agak lama berbicara dengan
pemilik suara di seberang. Ia bahkan sampai mengeluarkan tawanya yang cukup
keras. Serta, banyak sekali ia keluarkan kata-kata umpatan di sela-sela
tawanya. Asyik sekali nampaknya. Pastilah ia sedang mendengar suatu hal yang
menggelikan dan mengundang tawa dari suara lawan bicaranya.
Telpon
ditutup. Sisa tawanya masih belum sepenuhnya sirna. Lelaki yang masih
berseragam itu menyandarkan punggungnya pada pintu gerbang bercat hijau tua.
Hape di tangannya ia biarkan tergenggam oleh jari-jemari tangan kirinya. Tangan
kananya ia rogohkan ke saku kemeja seragamnya dan keluarlah beserta tangan yang
ini sebungkus rokok Mild. Ia comot sebatang rokok dan ia nyalakan dengan korek
api cricketnya.
Hembusan
asap rokok pertamanya ini ia nikmati betul. Di kepalanya sedang ada begitu
banyak permasalahan. Dan orang yang terakhir tadi menelponnya, sedikit memberi
pencerahan meski bukan atas permasalahan yang sedang ia hadapi. Ia kemudian
nampak memejamkan matanya dan berusaha untuk tersenyum. Berhasil, ia tersenyum
meski sangat kentara senyum itu terlalu dipaksakan. Saat membuka matanya, ia
seakan tersadar akan sesuatu. Buru-buru ia fokus pada layar hapenya. Menulis
pesan singkat.
Baru
sepuluh detik pesan singkat itu terkirim, ia sudah merasa tak sabar menunggu
balasan dari penerima pesan. Ia pun melakukan panggilan. Menelpon orang yang
dikehendakinya.
"Kenapa
lama sekali?? Saya sudah berdiri menunggu di sini setengah jam! Cepetan!"
Berbeda dari ekspresi tadi saat berbicara melalui hapenya, kali ini lelaki itu
seperti kesal karena supir pribadinya tak kunjung tiba.
"Maaf,
Pak ini mobilnya masih di perjalanan pulang. Dari tadi pagi dibawa Mas
Anto.." Supir pribadinya itu menjawab dengan nada takut.
"Kan
saya punya 2 mobil di garasi!" Lelaki itu malah membentaknya sekali lagi.
"Yang
satu masih di.." Belum selesai si supir menjawab, lelaki tadi malah segera
memotongnya sekejap ketika teringat mobilnya yang lain sedang di bengkel.
Menutup telpon. Dan seketika itu juga ia melakukan panggilan pada nomer lain.
Nomer anaknya, Anto.
"Kemana
saja kamu?? Cepetan pulang!" Namun kalimat ini nyatanya tak keluar. Karena
si Anto terlalu takut untuk menerima telpon dari ayahnya. Ia memilih tak
mengangkat panggilan masuk itu dan segera menaikkan kecepatan laju mobilnya.
Nahasnya,
Anto tak sempat sampai di rumahnya. Di jalan, saat dering-dering telpon dari
ayahnya masih terngiang dari hapenya, ia mengalami kecelakaan. Bisa jadi Anto
kehilangan fokus saat mengemudikan kendaraannya. Saat sedang berada di
kecepatan penuh, di siang jelang sore seperti itu, ia tak mengira bahwa sebuah
truck kontainer di depan, yang akan disalipnya, mendadak oleng ke kanan. Anto
tak sempat mengendalikan mobilnya. Menabraklah ia pada sisi kanan truck
kontainer tersebut. Anto tewas di tkp.
"Anak
kurang ajar! Ditelpon tak diangkat! Sedang apa anak kurang ajar ini??"
Lelaki berseragam yang masih berdiri di depan kantor dinasnya mengumpat untuk
terakhir kalinya. Kemudian datanglah taxi merapat mendekatinya. Ia masuk.
Pikirannya kini bertambah penuh. Ia akan memarahi anak kurang ajarnya itu
sesampainya di rumah.
0 Comments