Berada di posisi tengah, entah di
antara kiri-kanan, atas-bawah, atau depan-belakang, seringkali terasa begitu
sulit. Apalagi dalam konteks politik, berada di tengah seringkali dikaitkan
dengan sebuah sikap netral. Salah? Tentu saja tidak. Pengaitan itu sama sekali
tak salah. Karena memang berada di tengah berarti netral dan tidak berpihak ke
kiri atau kanan dan lain-lain.
Ketika suatu kelompok kita anggap
sebagai sebuah kelompok kiri dan lain kelompok kita anggap sebagai kanan,
nampaknya pada saat itulah kita sedang berusaha untuk memisahkan persamaan
kedua kelompok tersebut.
Sebagai contoh sederhana saja,
andaikata ormas Muhammadiyah saya anggap sebagai kelompok kanan dan Nahdhatul
Ulama saya hitung sebagai kelompok kiri, itu berarti saya sedang memisahkan
beberapa persamaan yang ada di antara keduanya. Misalnya persamaan bahwa
keduanya sama-sama ormas berbasis agama islam, sama-sama didirikan oleh tokoh
seperguruan, pula keduanya sama-sama memiliki semangat dalam membangun bangsa.
Lebih dari demikian, bukankah kedua kelompok tersebut sama-sama lahir, tumbuh,
dan berkembang di Indonesia?
Ada barangkali ratusan, ribuan, atau
bahkan jutaan hal yang kita kelompokkan dalam satu kotak dan kelompok lain kita
masukkan ke dalam kotak lain, lain, lain, dan seterusnya. Sehingga yang
kemudian muncul adalah kita sendiri berada di kotak yang mana?
Saya pernah merasa resah dengan kehadiran
klub-klub motor, kelompok mahasiswa pecinta alam, dan kelompok-kelompok lain
yang lahir karena beberapa individu merasa sevisi-misi atau (sekedar) sehobi
dengan individu yang lain. Keresahan saya bermuara pada, tidak cukupkah mereka
sudah berada dalam satu “kelompok” bernama Indonesia? Kalau ini terlalu besar
wadahnya, maka tidak cukupkah mereka merasa satu dalam “kotak” bernama manusia?
Oh ini malah membesar, ya..
Lain hari ketika keresahan saya itu
saya diskusikan dengan beberapa teman, saya menemui poin-poin yang lumayan bisa
meredakan keresahan saya itu. Pertama, memiliki kelompok karena merasa satu
hobi barangkali adalah sebuah cara bagi mereka untuk kemudian mencetuskan
ide-ide yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Bisa jadi dengan berada di kelompoknya
itu mereka merasa “nyaman” sehingga segala ide dan uneg-unegnya bisa dirembug
dan kemudian digodok demi ikut memberikan sedikit kemanfaatan bagi bangsa.
Kedua, berada dalam satu kelompok bisa
saja dijadikan sebagai sebuah ajang pembelajaran bagi mereka untuk
bersosialisai dengan kawan sesama manusia yang kebetulan memiliki visi dan misi
yang sama. Dari pembelajaran bersosialisasi ini kemudian muncul rasa
solidaritas sesama anggotanya yang bukan tidak mungkin di sanalah muncul
benih-benih manusia yang mampu memahami serta mengimplementasikan sebuah
prinsip yang semakin langka; guyub-rukun.
Ketiga, dengan berkelompok mungkin
orang-orang menjadi tahu bahwa ada orang lain di luar kelompoknya yang tak
memiliki persamaan dengan mereka. Dengan demikian lalu timbullah tenggang-rasa
antara kelompoknya dengan kelompok yang lain. Sedikit naik, dengan demikian
mereka lalu mau belajar menghargai perbedaan. Sangat mungkin jauh dari ini
kemudian muncul paguyuban yang pada akhirnya terbentuk menjadi koperasi yang jelas
manfaatnya.
Keempat, bisa juga dengan masuk ke
dalam suatu kelompok seseorang lalu menemukan pasangan hidupnya (suami/istri).
Yang demikian sudah tak lagi asing dan bukan suatu rahasia lagi bahwa sering
adanya seorang jejaka menikah dengan gadis yang ia temui dalam sebuah klub
motor misalnya, yang ia dan si gadis sama-sama menjadi anggotanya. Berarti,
setidak-tidaknya dan lagi-lagi adanya kelompok-kelompok itu memberikan manfaat
yang jelas bagi anggotanya.
https://www.pixabay.com |
Dari ke empat poin yang “berhasil”
meredakan keresahan saya tersebut, saya kemudian menarik paksa sebuah
kesimpulan: berkelompok, ikut masuk organisasi, hidup dalam sebuah klub, dan
sebagainya memiliki manfaat bagi setiap orang. Dengan catatan, setiap kelompok
di kemudian hari tidak terus-menerus merasa kelompoknya paling unggul sehingga
terhadap kelompok lain bisa berbuat semaunya. Tidak juga kemudian
kesemena-menaan itu merugikan orang lain entah dari kelompok mana pun.
Beberapa tokoh agama islam seringkali
saya temui memberikan semacam peringatan yang berbunyi bahwa kita ini bisa
bersaudara sebab seagama, bisa sebab kita sebangsa dan senegara, bisa sebab
kita sama-sama manusia, dan terakhir kita bersaudara karena sama-sama ciptaan
Tuhan. Yang terakhir berarti terhadap hewan serta tumbuhan dan semuanya, manusia
adalah saudara mereka.
Pada
ujungnya, ketika kita tidak menyukai suatu kelompok yang secara nyata atau
tidak kelompok itu memiliki “lawan” dengan kelompok lain, posisi kita yang
ingin serius berada sebagai, –meminjam istilah Cak Nun– Ekstrim Tengah, maka
kita tidak semestinya ikut riuh menghujat, menyindir terlalu berlebihan,
mem-bully anggotanya, membuka aib-aibnya, dan seterusnya. Menjadi Ekstrim
Tengah, kita berarti harus serius tidak mencoba menghakimi bahwa satu kelompok
kita nyatakan bersalah dan kelompok lain kita benarkan. Kecuali, barangkali
terhadap kelompok kejahatan kemanusiaan, kita semua harus sepakat bahwa mereka
benar-benar layak kita vonis bersalah.
Ada pengecualian lain, kalian tahu?
Ada pengecualian lain, kalian tahu?
*pernah dipublikasikan di emcholed.tumblr.com
0 Comments