Pernahkah kalian naik bus
antar-kota? Dari mana ke manakah itu?
Kalau kalian pernah naik
kendaraan umum satu ini, tentu saja kalian mempunyai pengalaman-pengalaman.
Dari mulai yang biasa-biasa saja sampai yang luar biasa. Pengalaman biasa-biasa
saja ini misalnya kalian berkenalan dengan orang yang duduk di jok sebelah
kalian. Sedangkan pengalaman
luar biasanya misalkan kalian membantu orang lain yang hendak dicopet, dengan ketangkasan luar biasa yang kalian miliki si copet akhirnya gagal melakukan aksinya hingga kemudian ia dilempar oleh kondektur bus keluar.
luar biasanya misalkan kalian membantu orang lain yang hendak dicopet, dengan ketangkasan luar biasa yang kalian miliki si copet akhirnya gagal melakukan aksinya hingga kemudian ia dilempar oleh kondektur bus keluar.
Atau, ada barangkali di antara
kalian yang menemukan jodoh di atas kendaraan umum berukuran besar ini? Wah
kalau ada tentu saja bus menjadi barang yang begitu penuh kenangan indah bagi
kalian yang pernah mengalami hal ini, ya..
Atau malah, jangan-jangan
kalian adalah sopir bus? Saya akan angkat topi jika salah satu dari kalian yang
membaca tulisan ini adalah seorang sopir bus. Karena saya tahu betapa seorang
sopir bus adalah salah satu profesi mulia. Bagaimana tidak, siapa pun yang naik
bus sebagai penumpangnya, tanpa pandang bulu, sopir pasti mengantarnya ke
tujuan yang diminta setiap penumpangnya itu.
Namun, hal tersebut barusan
pernah tak berlaku bagi saya. Memang hal ini dikarenakan oleh kesalahan saya
sendiri.
Ceritanya begini. Waktu itu
saya sedang dalam perjalanan pulang dari Pati ke Pekalongan. Dulu karena sudah
terbiasa untuk mengambil perjalanan estafet (Pati-Semarang,
Semarang-Pekalongan), alias tidak langsung naik dari Pati ke Pekalongan menggunakan
bus jurusan Jakarta misalnya, maka saya pun berhenti di terminal Terboyo
(Semarang). Sampai di sana saya masih ingat sekitar pukul setengah sembilan
malam.
Saya menunggu kedatangan bus
menuju Pekalongan di gerbang terminal. Ini menjadi pilihan saya karena menurut
pengalaman para pendahulu saya, kalau mau naik bus biar tidak kena calo
sebaiknya menunggu di gerbang seperti yang saya lakukan waktu itu.
Setengah jam berlalu, tak ada
satupun bus menuju Pekalongan. Kebanyakan bus yang keluar adalah bus-bus
jurusan Yogyakarta atau Solo.
Sejam kemudian, baru ada bus ke
Pekalongan. Namun tak saya naiki karena nampak dari luar penumpang penuh bahkan
tak sedikit yang berdiri. Saya tidak sedang sok, tapi untuk perjalanan yang
menghabiskan waktu tak kurang dari dua setengah jam, saya harus memilih bus
yang dapat saya naiki dengan nyaman. Lebih dari itu, saya termasuk orang yang
gampang mabuk di perjalanan.
source : wikipedia.org |
Saya kemudian mencari tempat
duduk. Cukup mudah untuk menemukan posisi favoritku; dekat dengan sopir. Namun
namun namun, saya baru tahu ternyata ada bus yang memiliki sekat antara sopir
dengan penumpang. Dalam hati saya kecewa tapi sekaligus senang. Kecewa karena
gagal duduk dekat dengan sopir (agar bias merasakan sensasi melihat jalanan di
depan kaca depan bus terutama ketika ngebut nanti, hehehe). Serta senang karena
meski demikian, saya mendapatkan tempat duduk yang keduanya masih kosong
sekaligus bukan di jok terbelakang.
Setelah menghempaskan tubuh di
atas jok yang, lagi-lagi saya terkesan, begitu empuk dengan jarak jok di
depannya cukup dan malah terasa terlalu lebar bagi saya yang baru pertama kali
menaikinya ini, saya kemudian didatangi oleh orang yang tadi menanyai tujuan
saya.
“Pekalongan?” Tanya si pria
bertopi hitam itu.
“Iya, Oom. Berapa?” Jawab saya
sekaligus menanyakan ongkosnya.
“Nempuluh” Enam puluh
ribu maksud pria itu. Saya kaget.
“Larang men, Oom? Mudun wae
aku, ah.” Saya yang kaget merasa perlu protes karena tak mengir akan
semahal ini ongkos tiketnya. Ini saya anggap terlampau mahal karena harga tiket
Semarang-Pekalongan waktu itu umumnya masih dua puluh lima ribu untuk bus
ber-AC, atau lima belas ribu untuk yang non-AC.
“Ini tujuannya Jakarta, Mas.
Makanya tiketnya emang diharga sampai pemberhentian istirahat nanti di
Indramayu.” Si pria bertopi hitam mencoba menjelaskan alasan kenapa harganya di
atas rata-rata.
“Empat puluh,” Saya masih belum
tahu kenapa saya menawar dengan harga segitu. Muncul begitu saja. Mungkin
karena saya teringat bahwa ada uang 20.000an sebanyak dua lembar di dompet
saya.
Orang itu bukannya menjawab
malah ngeloyor pergi begitu saja. Saya bingung dan memerhatikannya hingga ia
turun. Dari kaca jendela, kulihat orang itu berbincang dengan orang lain. Lalu,
pria kedua yang diajaknya bicara itu mendatangi saya.
“Pekalongan?” Tanya pria kedua.
Tubuhnya nampak lebih besar dibanding pria bertopi yang pertama tadi.
“Iya, Oom.” Saya sengaja tak
bertanya berapa ongkosnya.
“Lima puluh, yah?” Nadanya
santai. Saya hampir menyetujui harga ini mengingat saya sudah ingin merasa
santai duduk menikmati perjalanan. Namun, bus tak kunjung jalan. Saya tiba-tiba
teringat bahwa, orang-orang ini calo nih, pikir saya. Kondektur kan kalau narik
ongkos ya nunggu busnya jalan kan biasa. Ah, iya calo nih, mantap saya dalam
hati.
“Tiga puluh lah, Oom. Biasanya
ke Pekalongan dua lima, kan?” Ini penawaran saya kemudian.
“Tadi katanya empat puluh?”
Jujur saya bingung sekaligus geli mendengar ucapan pria kedua ini yang
terdengar berlagak kasar.
“Ini, Oom.” Saya berikan
kepadanya dua lembar uang 20.000an.
Tanpa berkata-kata lagi, pria
kedua pergi meninggalkan saya. Saya sudah tak lagi memiliki pikiran mengenai
besar-kecilnya biaya. Pikiran lebih saya arahkan pada orang-orang rumah,
keluargaku. Ah, ya.. Anakmu merindukanmu, Mak.. Pak..
Tiba-tiba datang menghampiri
saya pria pertama bertopi hitam tadi. Ia kembali menyapaku dengan tujuan ke
mana. Dengan malas kujawab. Lalu saya dibuatnya jengkel dengan permintaannya
untuk menambah biaya tiket sebesar 20.000 lagi. Saking kesalnya, saya kemudian
berkata,
“Sudahlah saya turun saja. Mana
tadi uang empat puluh saya? Saya turun saja.”
Bus
perlahan-lahan mulai jalan keluar dari pintu gerbang terminal. Saya kemudian
terbantu oleh seorang pria berpakaian serba hitam. Ia menanyai pria bertopi
beberapa pertanyaan yang tak terlalu saya hiraukan yang pada akhirnya membuat
si pria bertopi turun di dekat pos polisi yang berada di seberang gerbang
terminal.
“Mana tiket dari orang tadi?”
pria berpakaian serba hitam menanyaiku. Saya segera menyerahkan tiket saya yang
ternyata tiket palsu. Pria itu kemudian mengganti tiket saya dengan tiket lain
yang berkesan lebih bagus.
“Seharusnya tadi jangan mau
bayar kalau sama calo, tuh.” Ucapnya kemudian yang membuat saya ingin sekali
teriak, “Lha kowe ket mau ning ngendi wae, nyet??” Namun hal ini tak kulakukan
karena bisa-bisa saya malah dilemparkannya keluar dari bus nanti. Iya nanti.
Nanti kala bus sudah sampai di Alasroban, Batang. Hih, kan serem.
Saya mengangguk saja sebagai
balasan atas “nasihat” pria berpakaian serba hitam alias si kondektur resmi
itu.
Beberapa saat kemudian, tau-tau
bus sudah memasuki Weleri. Di sebelah saya juga sudah ada orang. Saya yang
terbangun dari tidur itu mencoba menyapa orang di sebelahku dengan senyuman.
Seorang bapak-bapak tersebut membalasku dengan senyum pula.
Seteguk air yang saya minum
kemudian, membawa saya kembali ke alam mimpi. Saya kembali tertidur dan
terbangun lagi saat bus melewati…
Dengan tergagap saya
mengucek-kucek mata. Beruntunglah saya tidak kebablasan. Bus baru sampai di
Tulis, Batang. Karena saya pikir masih ada sekitar setengah jam perjalanan
untuk sampai Pekalongan, saya putuskan untuk sekejap saja kembali memejamkan
mata.
Lalu…
Bersambung……
0 Comments