Advertisement

Responsive Advertisement

Lapangan Mataram Kota Pekalongan

Siang yang panas di Lapangan Mataram Pekalongan, saya yang sedang menikmati waktu nge-liburku dari pekerjaan, mencoba menerjang hawa panas yang menyengat dengan menaiki sepeda motor bebekku menuju ke sebuah lapangan yang di sebagian sisinya banyak kutemukan penjaja makanan ringan semacam Siomay, Batagor, Es Buah, Es Kelapa Muda, dan lain-lain.
ilustrasi gambar: pixabay.com


Menjelang jam 2 siang seperti saat ini, lapangan yang kukenal dengan nama Mataram (karena berada di jalan Mataram Pekalongan) ini lumayan ramai oleh anak-anak sepulang sekolah. Di setiap penjaja makanan ringan ini, anak-anak sekolah itu Nampak bergerombol dengan masing-masing “geng” mereka. Mereka menikmati jajanan sesuai selera mereka dengan diiringi obrolan-obrolan renyah penuh antusiasme dan gerak-gerik mereka yang energik. Aku yang menikmati pemandangan itu dari agak jauhan, tersenyum melihatnya.

Lapangan Mataram ini sendiri sebetulnya adalah sebuah lapangan sepak bola. Di dalam lapangan bagian paling utara dan terselatannya, berdiri masing-masing gawang besi bercat putih seperti umumnya gawang dalam lapangan sepak bola. Serta tentu saja, kedua gawang itu saling berhadapan antara satu sama lain.

Namun sejauh sepengetahuanku, lapangan ini tak pernah dipergunakan untuk sebuah pertandingan bola entah resmi seperti pertandingan klub bola asal kota ini; PERSIP Pekalongan, atau sekedar untuk latihan. Kalau pun ada yang bermain bola di sini, kebanyakan tidak menggunakan lapangan ini sepenuhnya.


Biasanya mereka yang bermain bola di sini menggunakan hanya setengah lapangan saja. Maka tak jarang dalam satu lapangan ini terdapat dua pertandingan antara empat kelompok yang bermain di lapangan Mataram ini. Biasanya jika digunakan setengah lapangan saja untuk bermain bola, maka akan dibuatlah gawang dari entah itu dua sepeda sebagai tiang gawang untuk masing-masingnya, atau terkadang menggunakan tongkat bambu atau bahkan sekedar tumpukan sandal.


Siang ini, dengan suhu udara sepanas seperti hari ini yaitu antara 32-35 derajat celcius, lapangan Mataram tentu saja tidak dipergunakan untuk bermain sepak bola. Melihat ke dalam lapangan, hanya akan nampak rumput lapangan yang cukup terawat kondisinya, tanpa seorang pun berdiri di atasnya.

 Silakan kunjungi cerita-cerita lain di sini.
Ya, memangnya siapa yang mau berdiri sendirian di tengah lapangan? Dalam kondisi cuaca cerah sepanas siang ini. Nantilah agak sore sedikit, selain orang-orang bermain bola, lapangan ini juga lumayan ramai diputari mereka yang hobby jogging. Dan pada malam hari, seringkali ada juga yang menggunakan lapangan ini untuk latihan bela diri.


Saat saya menuliskan ini, saya sedang duduk di trotoar utara seberang lapangan Mataram. Tepatnya di.....depan Gedung Wanita. Oh, bukan Gedung Wanita ternyata. Melainkan sebuah kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Nampaknya instansi ini masih belum lama menempati gedung ini. Terlihat dari papan nama yang baru saja kubaca, ia masih terbuat dari semacam spanduk yang dibentangkan dengan dua kayu di sisi kanan-kirinya. Sedangkan di atas pintu masuk gedung ini tertera tulisan menggunakan aksara jawa.


Gedung di mana aku duduk-duduk santai ini setahuku dulunya, bahkan 2 atau 3 bulan silam saat aku berada di tempat yang sama seperti hari ini, adalah Gedung Wanita. Saya tak sempat menanyakan kepada siapa saja di sini karena di sekitar gedung itu, saat kulongokkan kepalaku melewati pagarnya gerbangnya, tak Nampak olehku seseorang yang menurutku bisa kuganggu untuk sekedar kutanyai mengenai hal ini.


Di gedung ini pula, biasanya sering diadakan Bazaar buku entah oleh pihak mana. Dari beberapa Bazaar buku yang sempat diadakan di sini, aku sempat sekali mengunjunginya. Kala itu banyak stand yang menjual buku-buku bagus namun harganya sangat jauh lebih murah. Tahulah, itu buku bajakan. Karena hal inilah aku hanya pernah sekali mengunjungi Bazaar buku di tempat ini. Meski pun bisa saja kebetulan saja pada Bazaar kali itu memang khusus menjual buku bajakan. Tapi mbuh juga sih.


Masih di tempatku berduduk santai sambil menikmati kretek dan es kopi, mataku secara tiba-tiba menangkap sebuah pemandangan yang tak pernah kualami sebelumnya. Di jarak sekira 20-an meter di arah timur ku berada, seorang Bapak Becak duduk setengah berbaring di atas becaknya dan kedua tangan si bapak itu memegang buku, bapak itu sedang membaca buku.

 Kunjungi pula cerpen fiksi saya.
Kalau saja yang kulihat saat ini adalah seorang pemuda berkacamata dengan tas punggung disandang di pundaknya, di sebuah kantin atau di sebuah sudut perputakaan, jelas tak mungkin membuatku takjub. Memang begitulah seharusnya seorang pemuda, terus membaca buku. Lha yang kulihat sedang membaca buku saat ini tuh seorang bapak-bapak, pengayuh becak.


Melihat bapak itu membaca buku, aku jadi teringat bahwa di dalam jok motorku terdapat sebuah buku gambar dan pensil hitamnya. Kuambil keduanya. Lalu mulailah aku menggambar sesuatu.

Sekian.

Terimakasih,
Em.

Post a Comment

0 Comments