Advertisement

Responsive Advertisement

Kondisi Buruh di Pekalongan Kota Batik

Ketika kemarin media ramai mewartakan demonstrasi yang dilakukan para buruh, saya menjadi penyimak berita-berita itu dengan kepahaman yang tak penuh. Kecuali pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa Mayday kemarin hanyalah sebuah pesta bagi para buruh. Mereka, dalam sehari itu memiliki hari yang barangkali keberadaannya dikhususkan hanya bagi mereka, para buruh. 
 
Ibu Maryati/Khalid Muhammad/qureta.com
Karena Mayday adalah hari milik para buruh, maka buruh boleh berpesta dengan semau mereka. Namun pada kenyataannya, pesta mereka, setidaknya ada beberapa kegiatan mereka, tidak bisa dilakukan dengan sekehendak mereka. 

Para buruh itu, untuk sekedar menyuarakan keluh kesahnya yang berupa, lagi-lagi tuntutan ini-itu, dibatasi ruang bicaranya oleh aparat keamanan. Sebagian lain, ada yang tak melakukan aksi demonstrasi karena "berhasil" didem-demi oleh pemerintah daerahnya dengan pesta rakyat. 

Saya sekali lagi, tak banyak memahami betul kemauan para buruh yang masih saja berdemo itu. Ini bukan berarti saya antipati terhadap usaha mereka memperjuangkan hak-haknya. Saya sungguh ingin peduli sepenuhnya, andaikan saya hari ini tidak malas membaca awal mula pergerakan para buruh itu. Kemalasan saya ini sebetulnya biang keladinya, saya menjadi tak paham sepenuhnya dengan apa yang para buruh itu rasakan. 

Namun, nyatanya bukan ini yang menyebabkan kegagalpahaman saya atas tindakan buruh yang berdemo hari itu. Ada hal lain yang menurut saya menjadi pemicu kemalasan bagi diri saya untuk membaca duduk perkara demonstrasi yang masih terus berulang-ulang tersebut. Adalah telinga para pengusaha, atau kalau boleh saya ingin tuliskan saja nurani pengusaha. 

Saya adalah seorang buruh yang sedang merangkak menjadi pengusaha. Menjadi buruh sejak lulus sekolah menengah atas tahun 2011 hingga awal tahun ini, pelan-pelan saya mencoba memahami siklus ramai-sepinya pasar. Dari belajar memahami ini kemudian saya bertekad untuk berhenti menjadi buruh dan memilih sebuah usaha berdagang yang sama sekali baru saya mempelajarinya sambil menjalani. Learning by doing istilah kerennya. 

Sebentar, bukan ini yang ingin saya sampaikan di sini. Melainkan bahwa di daerah saya tinggal (saya curiga juga di daerah lain yang daerahnya tidak sering disebut sebagai Kota Besar, juga sama) banyak pengusaha non-pemerintah yang sudah turun-temurun menjalankan usahanya. Tak jarang, eksistensi para pengusaha ini jugalah yang melahirkan pesaing-pesaingnya yang dulunya adalah pekerjanya. 

Saya contohkan sedikit, di Pekalongan ada begitu banyak pengusaha Batik tradisional. Pengusaha yang sekaligus, menurut saya pengrajin, budayawan, juga beberapa di antaranya merangkap sebagai sufi karena membatik baginya adalah sebuah laku mempersembahkan karya pada Tuhannya, ini tidak pernah didemo oleh buruhnya. Saya agak kesulitan menyebut nama buruh untuk pekerja di perusahaan Batik ini. Sebaiknya saya sebut saja kuli. Biar lebih mengena dan memang secara umum begitulah penyebutannya. 

Upah Murah, tak Terpaku UMR
 
Ya, kuli yang bekerja di perusahaan Batik yang ada di Pekalongan ini upahnya hampir tidak ada yang mengikuti aturan main UMR. Saya sendiri yang pernah merasakan sebagai kuli, sering tak paham untuk apa ada penetapan UMR jika yang dijangkau hanyalah upah untuk buruh-buruh yang bekerja di pabrik atau perusahaan besar. 

Bekerja mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore, kuli-kuli yang bekerja dalam produksi Batik ini diganjar upah antara Rp 35.000-Rp 50.000. Libur setiap hari Jum'at dan menerima upah seminggu sekali setiap Kamis sore yang sering dikenal dengan istilah "pocoan". Maka dalam 6 hari (Sabtu-Kamis) kuli-kuli seperti saya ini maksimal akan memperoleh upah Rp 300.000. 

Pengusaha Batik mengupah kulinya sekecil (atau besar menurut anda?) itu akan rugi jika jumlah kulinya sebanyak 25 orang misalnya, namun hasil produksinya tidak memenuhi target. Sepertinya hal ini jelas, barangkali di ilmu ekonomi ada hukum atau apalah yang membahas perihal ini yang tidak saya ketahui.
Namun, yang seringkali saya dengar, meski tak memenuhi target, pengusaha ini tidak memberhentikan barang satu, dua kulinya saat mengalami hal ini. Kenapa? Sebut saja rasa belas kasihan mereka begitu besar dan mereka, para pengusaha ini kebanyakan sudah tahu siklus kapan pasar Batik ramai dan kapan sepi. 

Lebih detail, mereka pun tahu Batik jenis pakaian apa yang ramai setiap bulannya. Jadi, memberhentikan kuli dari pekerjaannya seringkali dipertimbagkan sangat matang. Kecuali kuli melakukan kesalahan fatal seperti misalnya, di tempat kerja ia doyan mencuri peralatan kerja dan sebagainya. Adakah? Ada. Banyak. 

Memberhentikan kuli di saat "kerjaan sepi" (silakan anda datang ke Pekalongan pada bulan awal-awal Maulid/Rabiul Awal, maka akan anda dengar kalimat bertanda petik tadi di mana-mana dari mulut para kuli, buruh, hingga pengusahanya) bukan sebuah solusi, terlebih jika semua kuli yang dimiliki adalah orang-orang yang sudah loyal bekerja pada pengusaha itu sejak upah mereka Rp 15.000/hari. Pengusaha ini akan sebisa mungkin menghindari pemecatan atas kuli-kulinya. 

Selalu ada cara. Misalkan jika biasanya semua kulinya bekerja penuh setiap harinya selama seminggu, kebijakan pengusaha-pengusaha ini akan merotasi kuli-kulinya untuk masing-masing, misalnya diliburkan sehari setengah setiap minggunya saat "kerjaan sepi" seperti ini. Memang dengan demikian kuli akan mengalami penurunan income. Tapi dengan jurus terampuh yaitu sistem kekeluargaan, hal ini tidak akan menimbulkan efek yang besar bagi keberlangsungan perusahaan mereka. 

Ya, saya mengira bahwa sistem kekeluargaan ini sering menjadi kunci utama eksistensi pengusaha Batik menjadi stabil. Lihatlah perkembangan perusahaan Batik di Pekalongan yang nampaknya terus naik. Yang dulunya kuli sudah menjadi buruh (menggarap produk milik orang lain/pengusaha, di tempat dan peralatan milik sendiri, ini baru saya sebut buruh), yang dulunya buruh mulai punya produk dan memasarkannya sendiri, dan yang pengusaha melahirkan lagi kuli-kuli anyar yang tidak menutup kemungkinan karena setiap harinya bekerja memproduksi Batik, melihat setiap step-step-nya, kelak akan menjadi pengusaha baru juga
Terakhir, kembali saya sampaikan bahwa saya sering tidak paham kenapa buruh-buruh secara terorganisir (cmiiw), melakukan demo memenuhi jalan-jalan raya. Barangkali jawaban atas ketidakpahaman saya ini sudah saya temukan sendiri. Yaitu sebab mereka memiliki kesenjangan yang begitu jauh dengan "boss" mereka sebagai pengusaha. 

Saya tak tahu, adakah akses bagi buruh untuk sekedar mengobrol santai dengan pengusaha bossnya itu pada sore hari usai buruh lelah bekerja di tempatnya. Saya pastikan, hal terakhir demikian, sangat lumrah dijumpai di Pekalongan. 

Di samping itu, pembedaan kelas antara buruh dengan pengusaha juga tiada henti-hentinya ditulis oleh mereka kaum akademisi sosialis. Ada baiknya, saya kira, kaum akademisi itu segeralah berpikir untuk menciptakan sebuah perusahaan kecil yang mampu menampung 3-5 buruh untuk dipekerjakan. Dan yang terpenting, jadikan buruh itu bagian dari keluarganya.

*Artikel ini pertama kali terbit di qureta.com

Post a Comment

2 Comments

  1. i like your page so so nice thanks for charing .)) With Love Jasmin https://lollipopkosmetik.wordpress.com/2017/10/01/7-tage-an-meiner-seite-2/

    ReplyDelete