Ketika kemarin media ramai mewartakan demonstrasi yang dilakukan para
buruh, saya menjadi penyimak berita-berita itu dengan kepahaman yang tak
penuh. Kecuali pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa Mayday
kemarin hanyalah sebuah pesta bagi para buruh. Mereka, dalam sehari itu
memiliki hari yang barangkali keberadaannya dikhususkan hanya bagi
mereka, para buruh.
Karena Mayday adalah hari milik para buruh, maka buruh boleh
berpesta dengan semau mereka. Namun pada kenyataannya, pesta mereka,
setidaknya ada beberapa kegiatan mereka, tidak bisa dilakukan dengan
sekehendak mereka.
Para buruh itu, untuk sekedar menyuarakan keluh kesahnya yang berupa,
lagi-lagi tuntutan ini-itu, dibatasi ruang bicaranya oleh aparat
keamanan. Sebagian lain, ada yang tak melakukan aksi demonstrasi karena
"berhasil" didem-demi oleh pemerintah daerahnya dengan pesta rakyat.
Saya sekali lagi, tak banyak memahami betul kemauan para buruh yang
masih saja berdemo itu. Ini bukan berarti saya antipati terhadap usaha
mereka memperjuangkan hak-haknya. Saya sungguh ingin peduli sepenuhnya,
andaikan saya hari ini tidak malas membaca awal mula pergerakan para
buruh itu. Kemalasan saya ini sebetulnya biang keladinya, saya menjadi
tak paham sepenuhnya dengan apa yang para buruh itu rasakan.
Namun, nyatanya bukan ini yang menyebabkan kegagalpahaman saya atas
tindakan buruh yang berdemo hari itu. Ada hal lain yang menurut saya
menjadi pemicu kemalasan bagi diri saya untuk membaca duduk perkara
demonstrasi yang masih terus berulang-ulang tersebut. Adalah telinga
para pengusaha, atau kalau boleh saya ingin tuliskan saja nurani
pengusaha.
Saya adalah seorang buruh yang sedang merangkak menjadi pengusaha.
Menjadi buruh sejak lulus sekolah menengah atas tahun 2011 hingga awal
tahun ini, pelan-pelan saya mencoba memahami siklus ramai-sepinya pasar.
Dari belajar memahami ini kemudian saya bertekad untuk berhenti menjadi
buruh dan memilih sebuah usaha berdagang yang sama sekali baru saya
mempelajarinya sambil menjalani. Learning by doing istilah kerennya.
Sebentar, bukan ini yang ingin saya sampaikan di sini. Melainkan bahwa
di daerah saya tinggal (saya curiga juga di daerah lain yang daerahnya
tidak sering disebut sebagai Kota Besar, juga sama) banyak pengusaha
non-pemerintah yang sudah turun-temurun menjalankan usahanya. Tak
jarang, eksistensi para pengusaha ini jugalah yang melahirkan
pesaing-pesaingnya yang dulunya adalah pekerjanya.
Saya contohkan sedikit, di Pekalongan ada begitu banyak pengusaha Batik
tradisional. Pengusaha yang sekaligus, menurut saya pengrajin,
budayawan, juga beberapa di antaranya merangkap sebagai sufi karena
membatik baginya adalah sebuah laku mempersembahkan karya pada Tuhannya,
ini tidak pernah didemo oleh buruhnya. Saya agak kesulitan menyebut
nama buruh untuk pekerja di perusahaan Batik ini. Sebaiknya saya sebut
saja kuli. Biar lebih mengena dan memang secara umum begitulah
penyebutannya.
Upah Murah, tak Terpaku UMR
Ya, kuli yang bekerja di perusahaan Batik yang ada di Pekalongan ini
upahnya hampir tidak ada yang mengikuti aturan main UMR. Saya sendiri
yang pernah merasakan sebagai kuli, sering tak paham untuk apa ada
penetapan UMR jika yang dijangkau hanyalah upah untuk buruh-buruh yang
bekerja di pabrik atau perusahaan besar.
Bekerja mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore, kuli-kuli yang bekerja dalam
produksi Batik ini diganjar upah antara Rp 35.000-Rp 50.000. Libur
setiap hari Jum'at dan menerima upah seminggu sekali setiap Kamis sore
yang sering dikenal dengan istilah "pocoan". Maka dalam 6 hari
(Sabtu-Kamis) kuli-kuli seperti saya ini maksimal akan memperoleh upah
Rp 300.000.
Pengusaha Batik mengupah kulinya sekecil (atau besar menurut anda?) itu
akan rugi jika jumlah kulinya sebanyak 25 orang misalnya, namun hasil
produksinya tidak memenuhi target. Sepertinya hal ini jelas, barangkali
di ilmu ekonomi ada hukum atau apalah yang membahas perihal ini yang
tidak saya ketahui.
Namun, yang seringkali saya dengar, meski tak memenuhi target, pengusaha
ini tidak memberhentikan barang satu, dua kulinya saat mengalami hal
ini. Kenapa? Sebut saja rasa belas kasihan mereka begitu besar dan
mereka, para pengusaha ini kebanyakan sudah tahu siklus kapan pasar
Batik ramai dan kapan sepi.
Lebih detail, mereka pun tahu Batik jenis pakaian apa yang ramai setiap
bulannya. Jadi, memberhentikan kuli dari pekerjaannya seringkali
dipertimbagkan sangat matang. Kecuali kuli melakukan kesalahan fatal
seperti misalnya, di tempat kerja ia doyan mencuri peralatan kerja dan
sebagainya. Adakah? Ada. Banyak.
Memberhentikan kuli di saat "kerjaan sepi" (silakan anda datang ke
Pekalongan pada bulan awal-awal Maulid/Rabiul Awal, maka akan anda
dengar kalimat bertanda petik tadi di mana-mana dari mulut para kuli,
buruh, hingga pengusahanya) bukan sebuah solusi, terlebih jika semua
kuli yang dimiliki adalah orang-orang yang sudah loyal bekerja pada
pengusaha itu sejak upah mereka Rp 15.000/hari. Pengusaha ini akan
sebisa mungkin menghindari pemecatan atas kuli-kulinya.
Selalu ada cara. Misalkan jika biasanya semua kulinya bekerja penuh
setiap harinya selama seminggu, kebijakan pengusaha-pengusaha ini akan
merotasi kuli-kulinya untuk masing-masing, misalnya diliburkan sehari
setengah setiap minggunya saat "kerjaan sepi" seperti ini. Memang dengan
demikian kuli akan mengalami penurunan income. Tapi dengan jurus
terampuh yaitu sistem kekeluargaan, hal ini tidak akan menimbulkan efek
yang besar bagi keberlangsungan perusahaan mereka.
Ya, saya mengira bahwa sistem kekeluargaan ini sering menjadi kunci
utama eksistensi pengusaha Batik menjadi stabil. Lihatlah perkembangan
perusahaan Batik di Pekalongan yang nampaknya terus naik. Yang dulunya
kuli sudah menjadi buruh (menggarap produk milik orang lain/pengusaha,
di tempat dan peralatan milik sendiri, ini baru saya sebut buruh), yang
dulunya buruh mulai punya produk dan memasarkannya sendiri, dan yang
pengusaha melahirkan lagi kuli-kuli anyar yang tidak menutup kemungkinan
karena setiap harinya bekerja memproduksi Batik, melihat setiap
step-step-nya, kelak akan menjadi pengusaha baru juga
Terakhir, kembali saya sampaikan bahwa saya sering tidak paham kenapa
buruh-buruh secara terorganisir (cmiiw), melakukan demo memenuhi
jalan-jalan raya. Barangkali jawaban atas ketidakpahaman saya ini sudah
saya temukan sendiri. Yaitu sebab mereka memiliki kesenjangan yang
begitu jauh dengan "boss" mereka sebagai pengusaha.
Saya tak tahu, adakah akses bagi buruh untuk sekedar mengobrol santai
dengan pengusaha bossnya itu pada sore hari usai buruh lelah bekerja di
tempatnya. Saya pastikan, hal terakhir demikian, sangat lumrah dijumpai
di Pekalongan.
Di samping itu, pembedaan kelas antara buruh dengan pengusaha juga tiada
henti-hentinya ditulis oleh mereka kaum akademisi sosialis. Ada
baiknya, saya kira, kaum akademisi itu segeralah berpikir untuk
menciptakan sebuah perusahaan kecil yang mampu menampung 3-5 buruh untuk
dipekerjakan. Dan yang terpenting, jadikan buruh itu bagian dari
keluarganya.
*Artikel ini pertama kali terbit di qureta.com
2 Comments
i like your page so so nice thanks for charing .)) With Love Jasmin https://lollipopkosmetik.wordpress.com/2017/10/01/7-tage-an-meiner-seite-2/
ReplyDeleteSangat miris melihat kondisi batik sekarang
ReplyDeleteSewa Container