Advertisement

Responsive Advertisement

Pesan Ibnu Khaldun

Ini adalah tulisan mengenai pesan Ibnu Khaldun yang saya rangkai dalam sebuah cerita ringan. Semoga pembaca dapat menangkap apa yang menjadi maksud dari tulisan saya ini. Silakan, selamat menyimak dan membaca.
Ibnu Khaldun. Gambar via: pinterest

Sejak kecil, saya diajarkan oleh orang tua (terutama Ibu saya) untuk tidak pernah meninggalkan salat fardhu 5 waktu dalam sehari-semalam; Subh, Dhuhr, Ashr, Maghrib, dan 'Isya. Seingat saya, Ibu mulai menekankan kewajiban salat itu (jangan sekarang kalau mau membahas pertanyaan "kok kewajiban salat datang dari Ibu saya, bukan Tuhan?") mulai saya kelas 1 SD (saya tidak pernah sekolah SD, melainkan MIS yaitu Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah yang sering disetarakan dengan SD alias Sekolah Dasar).

Kelas 1 MI waktu itu, saya sudah hafal dengan cukup lancar bacaan yang ada dalam setiap gerakan-gerakan salat. Namun saya belum pernah membaca tulisan dari bacaan-bacaan itu. Artinya bacaan-bacaan salat itu saya hafalkan dari mendengar yang diajarkan oleh Ibu saya dan kakak perempuan saya. Ayah dan kakak-kakak lelaki saya tak banyak urun nyinauni hal-hal seperti itu. Kemudian, membaca tulisan pada bacaan-bacaan salat baru bisa saya lakukan setelah saya bisa membaca huruf-huruf Arab-gandeng yang saya pelajari di tahun-tahun berikutnya.
Baca pula artikel kami berikut ini.
Jika di zaman sekarang di daerah saya ada begitu banyak Taman Pendidikan Al Qur'an (TPQ) yang di dalamnya berlangsung kegiatan belajar-mengajar yang terfokus pada pendidikan dasar soal keagamaan (Islam) seperti tata cara berwudhu serta bacaan-bacaannya, tata cara salat yang sesuai dengan syarat-rukun dalam kaidah fikih, serta yang paling utama; belajar membaca huruf arab, yang menjadi bahasa Al Qur'an secara mendasar. Pada zaman saya masih kecil dulu TPQ belum semarak seperti sekarang. Hanya ada beberapa dan namanya belum TPQ melainkan Madrasah Diniyyah yang jika diartikan berarti Sekolah Keagamaan.

Apa perbedaan TPQ dengan Madrasah Diniyyah? Secara garis besar keduanya sama persis. Dan secara garis kecil yang menyabang, ada beberapa perbedaan kecil di antara keduanya. Madrasah Diniyyah dulu seingat saya diajar oleh Ustadz yang kebanyakan fokus utama mereka hanyalah mengajar muridnya mengaji, titik. Sedangkan di beberapa TPQ, anak-anak juga diajarkan menyanyi serta menari.

Beberapa minggu lalu, keponakan saya yang masih kelas 2 MI dan menjadi murid di salah satu TPQ di daerah saya, meminta saya untuk memutarkan lagu berjudul Kun Anta (penyanyi Humud Al Khudher). Saya kebetulan mengenal lagu itu dan seketika kaget, untuk apa anak sekecil ponakan saya itu mendengar lagu berisi syair ke-PD-an, semangat menjadi diri sendiri, dan jangan terlalu banyak bergaya tersebut? Jawabnya, Danilhaq, nama ponakan saya itu ternyata terpilih menjadi salah satu pengisi acara Haflah Akhirussanah (acara penutupan tahun ajaran, biasanya diadakan pada bulan Sya'ban), untuk menyanyikan lagu Kun Anta tadi bersama beberapa teman lainnya yang juga terpilih. Maka oleh Ustadznya dia disuruh menghafalkan lagu tadi.

Dulu di Madrasah Diniyyah saya tidak diajarkan untuk menyanyi lagu Ana Winta atau Magadir, misalnya. Apalagi menari. Di Madrasah Diniyyah saya hanya belajar step-step mengambil air wudhu, bacaan doa-doa keseharian (jelang tidur, hendak makan, pegi ke sekolah, dan sebagainya), bacaan adzan dan iqamat, belajar membaca Al Qur'an mulai Alif hamzah A, Ba kasrah Bi dan seterusnya. Di tingkat setelah melewati pengajaran itu, saya kemudian diajarkan ilmu-ilmu dasar gramatikal bahasa Arab yaitu Nahw-Sharf. Kedua pelajaran ini selalu bergandengan setahu saya.

Usia akhir MI (kelas 6 MI) sampai masuk MTsS (Madrasah Tsanawiyyah Salafiyyah), di Madrasah Diniyah saya kemudian mulai belajar mengaji kitab kuning (apa itu Kitab Kuning, sudah banyak yang menjelaskan. Silakan cari di google atau ask atau yahoo atau bing dan lain-lain.--Partai Keadilan Sejahtera bahkan pernah mengadakan semacam lomba membaca Kitab Kuning, meski kabarnya dulu beberapa partisipannya sempat merendahkan isi Kitab Kuning.-- Saran, jangan gunakan browser TOR saat searching). Kitab kuning yang saya pelajari dulu adalah kitab fikih; Safinatunnaja dan Fathul Qarib. Tauhid; Tijanuddirori dan Fathul Majid. Kitab Akhlaq yang saya lupa namanya, serta tentu juga belajar ilmu Gharib yaitu tentang bacaan-bacaan tak umum yang ada dalam Al Qur'an seperti "Saktah" dan lain-lain.

Pendidikan dasar keagamaan tersebut tadi, sepertinya menjadi sebuah pondasi yang cukup bagi saya untuk masuk ke sebuah pesantren, (saya lalu masuk pesantren usai lulus MTsS). Di pesantren saya jadi merasa sudah tidak asing dengan istilah dalam Nahw-Sharf semacam "Mubtada-Khobar" atau "Ism Ghairu Munsharif" dan sebagainya. Dan di pesantren itulah ilmu-ilmu penting lain juga saya peroleh, terutama ilmu sosial. Sosial dalam arti yang paling sederhana, bukan yang berkonotasi (bagi saya) berat seperti yang banyak diungkapkan secara panjang lebar dalam tulisan-tulisan kaum akademisi di situs islambergerak.com atau indoprogress.com, misalnya. Ilmu sosial yang saya pelajari "sekedar" mengenai keguyuban, kerukunan, kepedulian, meminimalisir kontravensi dalam kehidupan sehari-hari para santri, serta hal-hal lain yang tak jauh dari itu.

Ilmu sosial yang saya pelajari pun kebanyakan bukan dalam bentuk membaca buku-buku tebal karya ilmuwan sosialis atau mengadakan  diskusi berlarut-larut membahas "Kelas Sosial" umpamanya, melainkan,--lagi-lagi--"sekedar" melihat dan mendengar. Jika melihat ada kawan sepesantren sedang sakit, secara sadar saya dan santri yang lain, berbagi tugas ada yang memintakan bantuan doa (biasanya dilakukan saat usai salat berjamaah), ada yang mengantarnya berobat, serta ada yang membantunya menyuapi makan. Atau mendengar ada tetangga lingkungan pesantren meninggal, maka santri-santri akan berta'ziah. Kalian yang pernah hidup di pesantren, tentu pernah mengalami hal-hal itu, atau setidaknya melihat teman sesama santri kalian melakukannya. Kecuali kalian tidak belajar ilmu sosial sederhana itu di sana.

Kedewasaan saya rasanya benar-benar digodok di pesantren, saya harus bersyukur memiliki orang tua yang telah memondokkan saya di pesantren itu. Di sana saya mengenal, selain ilmu-ilmu keagamaan dari kitab-kitab kuning yang (semakin) variatif serta ilmu sosial yang "ala kadarnya" itu, saya juga mengenal teman-teman hebat. Banyak sekali teman saya yang saya kagumi kecerdasannya di sana. Bahkan saya pernah mengira bahwa si A, salah satu teman saya misalnya, kelak akan menjadi seorang ilmuwan kitab kuning yang bermanfaat bagi banyak orang, terutama lingkungan tempat ia tinggal nantinya.
Yang gemar baca cerita dapat ke sini.
Kini, 5 tahun sudah berlalu sejak saya boyong (lulus sekolah dan keluar dari pesantren untuk kembali ke rumah, ke kampung halaman). 5 tahun bagi saya untuk mencoba mengimplementasikan apa saja hal-hal baik yang saya peroleh dari pesantren, dari kecil. Ilmu-ilmu yang saya pelajari selama ini, yang setelah saya sadari ternyata hanya seperempat biji beras di antara ratusan ribu ton beras impor bangsa ini, belumlah cukup memberi manfaat bagi orang lain.  Namun, saya bukan tak mau terus belajar dan mencoba menjadi lebih baik. Saya masih punya kesadaran bahwa saya harus lebih banyak belajar dan semakin banyak belajar.

Meski demikian, setidaknya saya yang baru saja membaca halaman-halaman awal buku biografi Ibnu Khaldun karya Bensalim Himmish, di sana dituliskan bahwa Ibnu Khaldun pernah berkata; "Hati seorang Mukmin selalu memiliki ruang untuk menampung keluh-kesah orang lain.." sesaat sebelum hape saya berdering dan saya baca pesan singkat dari teman saya yang berbunyi;

"ke sini, bisa? aku mau curhat."

Saya balas pesan singkat itu, "bisa. Langsung otw." Lalu berangkatlah saya ke rumah kawan saya itu dengan berkendara sepeda motor. Ya, Ibnu Khaldun, saya masih memiliki ruang dalam hati saya untuk mendengar keluh-kesah orang lain.


Yang alpa dari kesigapan saya di sini adalah bahwa sore hari saya keluar dari rumah menuju ke rumah kawan saya itu, saya lupa berpamitan dengan orang tua saya.

Demikianlah tulisan saya mengenai pesan Ibnu Khaldun ini saya unggah. Semoga pembaca sekalian dapat menangkap apa yang ingin saya sampaikan dalam narasi ini. Jangan lupa untuk terus mengunjungi blog saya, dan jangan lupa pula untuk membagikan artikel ini apabila pembaca merasa artikel ini layak untuk dibagikan kepada yang lain.

Terimakasih.

Salam,
Em.

Post a Comment

6 Comments

  1. cerita yang bermanfaat gan, trimakasih sudah berbagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, gan. Blog agan juga bermanfaat. Hehehe.

      Delete
  2. Jadi anak yang sholeh. sekarang jarang anak yang seperti Anda Broo.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe..
      Saya mah belum pantes disebut anak soleh, Bang..
      Hehehe..
      Bedewei, tengs udah sudi mampir ke blog saya, Bang.

      Delete
  3. ceritanya menarik dan inspiratif mas

    ReplyDelete