Advertisement

Responsive Advertisement

Kebingungan Samadi



Samadi dan Istri Pelacurnya
cerita yang gagal dimuat (ditolak) di berbagai media. Hahaha.
 
"Jadi, maaf, mendengar ceritamu barusan dapat kusebut bahwa, istrimu seorang pelacur?" Kutanyai lelaki seusiaku yang tengah duduk di hadapanku ini.
"Iya, Dam." Wajah lelaki ini kian pucat dan rautnya menunjukkan betapa ia menyimpan kesedihan serta mungkin juga kekecewaan yang mendalam.
Aku menghela nafas. Menghembuskannya pelan-pelan. Kretek yang terselip di antara jemariku, abunya sudah memanjang, kuketukkan pada tepian asbak untuk melepaskan gumpalan abu tersebut. Kuhisap kretekku kuat-kuat. Asapnya kuhembuskan pelan-pelan dari lubang hidung dan mulutku.

3 jam sebelumnya...
"Dam? Kau di rumah?" Sebuah pesan singkat terkirim ke ponselku. Dari Samadi, temanku yang pernah sama-sama menjadi nelayan dulu.
"Iya, Sam. Gimana?" Kubalas sms itu.
"Aku punya masalah. Aku kesitu mau cerita sekarang juga. Boleh?"
Membaca sms berikutnya, aku segera mengira, dan bergumam sendiri,
"Saaam.. Sam.. Mau sampai kapan kamu terus menerus menumpuk hutang.." Karena aku mengira bahwa permasalahan Samadi adalah urusan duit.
"Sudah larut malam begini, Sam. Sudah mau jam 11 ini. Besok aja gimana?" Aku mencoba menolak untuk menemui calon pengutang. Samadi masih punya utang padaku sebesar 450.000 rupiah. Aku bukan tak mau meminjaminya lagi, aku hanya tak mau ia semakin memberatkan bebannya sendiri karena lilitan hutang.
"Aku tak yakin jika besok baru kusampaikan masalah ini padamu, aku keburu stress, Dam."
Tiba-tiba aku berubah dugaan. Mungkin masalah yang Samadi hadapi bukan soal duit. Atau setidaknya, ia tak sedang berniat hutang padaku (lagi).
"Sampaikan di sini saja kalau begitu, Sam." Begitu kemudian bunyi smsku.
"Tidak, Dam. Ini harus kuutarakan langsung padamu." Samadi masih 'ngeyel'. Aku menyerah.
"Yasudah. Aku tunggu.."
"Jalan." Begitu sms terakhirnya.
"Maaaasss? Ayuh." Ini suara istriku yang tiba-tiba muncul memasuki kamar usai cuci muka dan menidurkan anak bungsu kami di kamar lain. Aku tersadar, malam ini aku ada jadwal "kelon" sama istri. Dan, ya Tuhan. Cantik sekali istriku malam ini. Aku menelan ludah. Istriku mendekatiku dan dengan gerakan yang tak kuduga, ia mematikan lampu terang kamar kami dan menyalakan lampu temaram.
"Maaass.." Di tepi ranjang, istriku duduk. Tangannya mulai bergerilya ke daerah-daerah sensitif di tubuhku. Aih. Aku tak tahan untuk diam saja. Segera kurebahkan tubuhnya yang sintal itu di sampingku. Selanjutnya, mulailah kami beradu tubuh dalam persetubuhan.
Di tengah adegan panasku bersama istri, ponselku berdering-dering. Berdering. Mati. Dering lagi. Mati. Dering lagi. Begitu terus. Aku tahu itu Samadi yang melakukan panggilan dan sms. Aku tak pedulikan dulu.
"Siapa, sih, Mass? Awhh.. Uwhhh.." Istriku menyempatkan diri untuk bertanya dalam kondisi dan keadaan seperti ini. Aku tak juga menghiraukan pertanyaannya. Kulumat bibirnya. Ponselku masih berdering.
Saat mengubah posisi, istriku menyambar ponselku yang tengah berdering. Ia menekan tombol berwarna hijau. Lalu ia serahkan padaku, namun malah memposisikan tubuhnya membelakangiku dengan agak menungging. Aku kepalang bingung. Akhirnya kupilih untuk kembali bergumul dengan istriku.
Dari arah speaker ponselku, samar-samar kudengar Samadi mengumpat. Istriku malah mendesah-desah keras. Kupacu gerakanku agar segera “sampai”. Tak tega juga rasanya aku mengerjai kawanku itu terlalu lama.

Sepuluh menit usai orgasmeku.
"Bajingan. Teman lagi ada masalah, malah ditinggal kenthu!" Samadi segera bersungut-sungut usai kubukakan pintu. Aku tertawa saja.
"Kamu sih bertamu jam segini."
"Kalau bukan masalah besar, aku tak mungkin kesini di waktu ngenthumu, Dam. Bangsat." Aku kembali ketawa. Kuajak ia duduk di bangku teras rumahku.
"Sebenarnya ada apa, Sam? Kamu ini kayak kita masih remaja saja, ada masalah lari ke temen. Kan sekarang sudah ada pasangan untuk merembug masalah?" Kutanyai Samadi. Yang ditanya celingukan dengan muka pucat.
"Itu dia masalahnya, Dam. Kamu tak ingat, bahwa itu berlaku jika permasalahan yang kita hadapi, tak menyangkut istri kita. Pasangan kita. Lha kalau menyangkut istri? Kan tetep ke temen yang paling tepat." Mendengar jawabannya, aku tersenyum. Karena sebetulnya, menyangkut istri atau tidak, tetap saja permasalahan lebih baik diselesaikan oleh suami-istri itu sendiri. Tapi, ya sudahlah.
"Baik, Sam. Sekarang ceritakan saja permasalahanmu."

Pukul 7.20 malam tersebut.
"Astahfiruwoh! Astahfiruwoh! Awohurobbi! Shantika? Ini Shantika? Istriku??" Samadi tercekat, membatin menyebut-nyebut Tuhan, saat membuka-buka hape milik istrinya. Sebuah aplikasi media sosial yang selama ini tak ia kenal, dengan logo burung berwarna biru muda, ia buka. Dan dengan serampangan, ia sentuh dengan ujung jari di beberapa bagian. Pada bagian profile, terdapat tab tweets, di sana, jempol kanan Samadi menarik layer hape canggih istrinya ke atas sehingga otomatis ia melakukan scrolling.
"ShantikaChantique, mlm ini smp 3 hari kdpan avail ya, say. #OpenBO #BOTante #TanteJateng Info detail silakan DM"
Bunyi tweet tersebut disertai foto istrinya setengah telanjang dengan pose yang sangat seksi. Mengundah gairah siapa saja lelaki yang melihat foto tersebut.
Samadi terus menerus menyebut-nyebut Tuhannya dengan iringan umpatan-umpatan.

Di ruang tamuku.
"Aku tak sengaja membuka hape Shantika yang ia tinggalkan atau tak sengaja ketinggalan di kamar. Sejak sore ia pergi, pamit padaku mau ke rumah orang tuanya."
"Hmm.. Terus? Kamu nemu hape istrimu sendiri dan mau kamu jual?"
"Dengarkan dulu, Dam."
"Hehehe.. Kan kebiasaanmu."
"Taik, Dam."
"Hehehe.."

Istriku datang menyuguhkan teh panas. Samadi mengumpat ditujukan pada kami mengenai kejadian telpon saat aku dan istriku sedang bergumul tadi. Istriku cekikikan mendengar Samadi mengumpat tak jelas begitu. Lalu kepada Samadi ia berucap,
"Maaf, Bang Sam. Ini entar jam 12 kita mau ronde 2. Bang Sam sebaiknya jangan lama-lama di sini. Hihihihi.."
Aku tahu, itu bukan kalimat usiran. Samadi pasti sudah paham yang demikian. Istriku juga sadar bahwa dengan mengucapkan kalimat itu, Samadi tak mungkin marah atau tersinggung.
"Edan semua. Suami edan! Istrinya edan!" Samadi mengumpat tak jelas lagi. Aku ketawa. Istriku kembali cekikikan dan segera melangkah meninggalkan kami di teras rumah.
"Minum dulu, Sam." Suruhku pada Samadi untuk meminum teh yang disuguhkan istriku. Ia menurut. Lalu menyomot sebatang kretekku. Menyalakannya, seakan ia lupa ke sini untuk menceritakan masalah.
"Gimana tadi terusannya?" Kutanyai.
"Istriku, melalui sebuah aplikasi di hapenya, Dam.. Kau tahu twitter?"
"Oh itu. Ya..ya.. Tahu. Kenapa dengan istrimu dan twitter?" Muka Samadi memucat lagi. Kali ini nampak pula kesedihan dari raut muka pas-pasannya itu.
"Shantika mengiklankan dirinya di twitter itu, Dam."
"Mengiklankan gimana maksudmu? Ia jualan pakaian online?"
Samadi kian pucat. Ia seperti kesulitan untuk menjelaskan sesuatu.
"Bukan begitu. Bukan itu, Dam... Shantika.. Ee.. Eeeh.." Kini muka Samadi malah tak jelas rupanya. Aku penasaran ada apa dengan istrinya. Selama ini aku juga tak terlalu mengenal twitter, entah dunia macam apa yang ada di dalam aplikasi media sosial itu.
"Shantika lonte, Dam..." Samadi akhirnya berkata demikian. Begitu lirih nada suaranya saat mengucapkan kalimat ini. Aku bahkan nyaris tak mendengarnya.
"Apa?? Apa maksudmu, Sam? Apa maksudmu Shantika melacur??" Aku membenarkan letak dudukku supaya lebih dekat dengan Samadi agar yang diucapkan lelaki itu tak salah kudengar.
"Dari tadi istriku sms memintaku untuk meletakkan hapenya ke dalam laci lemarinya. Aku tahu ia takut kalau-kalau aku tak sengaja membuka hapenya seperti tadi." Bukannya menjawab pertanyaanku Samadi malah bercerita lagi. Aku memilih diam dan memerhatikan penuh suara Samadi.
"Shantika menuliskan sesuatu di twitter itu, Dam. Di sana ia menyebutkan beberapa kata dengan tanda pagar di awalnya. Aku kurang paham sebetulnya. Tapi perasaanku mengatakan bahwa tulisan singkatnya itu adalah bentuk iklan atas dirinya. Atas kepelacurannya. Kau tahu twitter, Dam?"
"A..Ak..Akuu.. Ehh.. Maap, Sam. Aku masih belum bisa menerima sepenuhnya mengenai apa yang kau ceritakan."
"Intinya, aku yakin bahwa istriku seorang pelacur yang mengiklankan dirinya lewat twitter, Dam." Wajahku kurasai panas mendengar Samadi mempertegas ceritanya itu. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya.
"Gini, Sam.. Maaf, boleh aku lihat hape istrimu itu?" Aku meminta. Samadi merogoh saku celananya. Ia sodorkan ponsel kekinian dengan sistem operasi Android itu.
"Nih.."
Aku memintanya untuk membukakan kunci layarnya. Ia gerakkan jarinya menyentuh layar membentuk huruf "S". Aku nyaris tertawa membayangkan bahwa "S" tersebut adalah inisial Samadi.
Aku kemudian membuka aplikasi twitter. Aku sudah bilang kan, tadi, bahwa aku tak terlalu mengenal aplikasi ini? Jadi aku meminta Samadi untuk memperlihatkanku di mana ia melihat "iklan" istrinya itu. Samadi pun menyentuh-nyentuhkan ujung jarinya ke sana ke mari. Sekali dua kali sentuhannya seperti salah. Lalu,
"Shantika Chantique mlm ini smp 3 hari kdpan avail ya, say. #OpenBO #BOTante #TanteJateng Info detail silakan DM"
Benar sekali, foto pada kalimat itu adalah istri Samadi, Shantika atau biasa kupanggil Tika. Aku menelan ludah kebingungan.
"Aku harus gimana, Dam?" Samadi bertanya.
"Malam ini istrimu enggak di rumah, berarti?" Bukannya menjawab, aku malah balik tanya.
"Enggak." Samadi mengambil sebatang rokokku lagi. Aku turut mengambil dan segera kunyalakan sembari berpikir.
Di sinilah percakapan singkat pada awal tulisan ini terjadi.
"Kita ke hotel saja, Sam." Ucapku kemudian, membuat Samadi tak paham. "Barangkali istrimu, maaf, mainnya di hotel-hotel?"
"Ah. Aku enggak kuat, Dam. Mana bisa, kalau ketemu beneran, melihat istri sedang kenthu dengan pria lain?" Mendengar ini aku diam. Berpikir sejenak.
"Jadi apa rencanamu, Sam?"
"Coba kamu suruh anakmu untuk menulis saja, Dam."
"Heh? Apa maksudmu?"
"Suruh Hendra menulis cerita seperti yang sedang kualami ini dan suruh pula agar tulisan itu dimuat di facebooknya atau di mana."
"Bentar, bentar, bentar.. Maksudmu gimana kok malah begini?"
"Ya begitu, intinya Hendra suruh nulis kisah ini, lalu suruh ia pura-pura untuk menjadi anak dari orang tua seperti ini. Suruh Hendra menulis dengan gaya bahasa remaja curhat tentang orang tuanya. Atau jika Hendra bisa, biar ia menjadi tokoh 'aku' dalam kisahnya. Nanti di akhir tulisannya itu, biar Hendra tutup dengan pertanyaan, 'apa yang harus kulakukan?'"
"Ah, kamu ini, Sam. Kenapa harus dengan begini caranya?"
"Sudahlah, ikuti saja rencanaku. Aku ingin tahu apa respon orang lain membaca kisah seperti ini. Hendra, kan pandai menulis cerita?"
"Aku tak tahu harus bilang apa, Sam. Tapi jika begitu maumu, biar kusuruh Hendra menuliskannya."

Pukul 12.37 lewat tengah malam itu.
"Maaf, aku tak membantu masalahmu, Sam."
"Sudah, Dam. Kamu sudah membantu. Dan akan benar-benar membantu jika Hendra kau suruh seperti tadi permintaanku."
"Pasti, Sam. Pasti kusuruh Hendra, nanti. Besok atau lusa."
"Yasudah, aku pulang dulu, Dam. Kau silakan kalau mau kenthu lagi."
Aku tersenyum kecut. Samadi kupandangi meninggalkan pekarangan rumahku dengan sepeda motornya.

Kalian sudah cukup menangkap kisah di atas, kawan? Kalau sudah cukup paham, sekarang kalian jawab, apa yang harus Samadi lakukan?

-------
Gambar ilustrasi dari pixabay.

Post a Comment

0 Comments