Advertisement

Responsive Advertisement

Bisnis Online dan Kuli Keceh

gambar dari trendwalk.net
Belakangan, golongan muda di Indonesia memilih menekuni bisnis yang secara global seakan disepakati dan diistilahkan dengan sebutan “Bisnis Online”. Secara sederhana, bisnis ini bisa dimaknai sebagai setiap bisnis yang segala bentuk aktivitasnya dilakukan melalui koneksi internet. Maka dari itu, segala bentuk bisnis ini hampir segalanya, mulai dari periklanan, kontak antara penjual dan pembeli, hingga pemilihan pihak ke tiga (pembayaran, pengiriman dan lain-lain), kesemuanya memanfaatkan kemajuan teknologi internet.

Sejak 2014 silam, jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Jika dihitung sejak 2014 hingga 2016 lalu, penetrasi pengguna internet di Indonesia menyentuh angka 51,8 persen. Demikian menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Adapun untuk jumlah pengguna internet, beberapa lembaga survey menyajikan hasil yang berbeda-beda.

APJII mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia pada 2016 sudah mencapai 132,7 juta pengguna. Sedangkan situs Emarketer menyebut bahwa pengguna internet di Indonesia pada 2016 sebesar 102,8 juta pengguna dan diperkirakan pada 2018 akan naik menjadi 123 juta pengguna. Indonesia ada di peringkat 6 di bawah China, Amerika, India, Brazil dan Jepang.

Dengan kian bertambahnya pengguna internet tersebut, jelaslah bahwa aktivitas masyarakat di Indonesia dengan memanfaatkan konektivitas internet pun bertambah naik. Yang dulu kalau mau berkenalan dengan lawan jenis harus menunggu adanya Pasar Malam, kini bisa mencari kenalan melalui media sosial. Yang dulu kalau mau mencari tahu perihal suatu cara untuk membikin sesuatu harus menanyakan langsung pada ahlinya, kini bisa tinggal mengunjungi situs mesin pencari dan mengetikkan sesuatu yang ingin diketahuinya. Yang dulu kalau mau menjual barang bekas di gudang rumahnya kudu membawa dan menawarkan langsung di pasar-pasar loak, kini cukup memotret barang yang akan dijualnya, lalu mengunggah foto tersebut ke forum-forum jual-beli yang sekarang begitu menjamur.

Saya tidak memiliki kehendak untuk menggiring tulisan ini ke arah perdebatan seputar positif-negatif mengenai bisnis online. Yang hendak saya kemukakan di sini adalah bahwasanya dengan kian dipahaminya istilah bisnis online di kalangan masyarakat luas Indonesia, dapat diartikan bahwa kemandirian masyarakat Indonesia akan kebutuhannya sendiri cukup meningkat.

Mengapa saya sebut kemandirian atas kebutuhan meningkat? Karena setidaknya, dengan pemahaman akan bisnis online ini, masyarakat kita menjadi paham bahwa istilah pasar tidak melulu soal keriuhan orang-orang di lorong-lorong sempit sembari mengangkuti barang-barang dagangan. Pasar, oleh banyak masyarakat kita sudah dipahami dan dibagi menjadi dua: Pasar Offline dan Pasar Online. Di mana keduanya, sama-sama memiliki potensi besar untuk dimasuki sebagai ruang berbisnis.


Saya tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah di mana di tempat tinggal saya ini, belakangan cukup nge-trend istilah bisnis online. Beberapa pemuda di desa saya bahkan sudah bukan satu-dua yang saat ini terkenal sukses lantaran menjalankan bisnis online. Yang paling banyak di-bisnis online-kan adalah Batik, yang memang merupakan komoditi utama di daerah saya. Selain mudah ditemukannya supplier Batik di sini, satu hal lain yang menjadi sorotan saya adalah rupa-rupanya para pengusaha Batik di daerah saya pun kini lebih suka melayani customer cum reseller-nya yang memperjualkan lagi produk mereka melalui bisnis online.
gambar dari: koleksi pribadi.
Mengapa para pengusaha bahkan pengusaha besar yang telah memiliki target marketing yang sudah jelas dan loyal sekalipun, kini lebih berpihak pada pemuda-pemudi yang baru kemarin sore belajar berbisnis, yang menamai diri mereka sebagai reseller alih-alih melayani permintaan pasar langganannya? Jawabannya sangat sederhana. Yaitu karena para reseller ini mampu membayar secara kontan atau dalam bahasa mereka; cash.

Sistem pembayaran Batik secara kontan ini merupakan hal baru bagi kebanyakan pengusaha Batik di Pekalongan. Saya sebut hal baru karena, kebanyakan mereka para pengusaha ini biasanya, dalam memasarkan Batiknya di pasar-pasar tradisional (umumnya para pengusaha Batik ini memasarkan produknya ke Pasar Klewer Solo, Beringharjo Yogyakarta, Trusmi Cirebon, Turi Surabaya, Kliwon Kudus, dan Blok M Jakarta), menganut sistem “titip”. Yaitu sistem di mana pengusaha Batik ini sekadar menitipkan barangnya pada pedagang-pedagang di pasar-pasar tadi, yang apabila dalam beberapa hari (biasanya atas kesepakatan antara pengusaha produsen Batik dengan pedagang di pasar) tidak laku, maka barang akan dikembalikan.

Sistem perputaran dalam bisnis Batik semacam itu berjalan bertahun-tahun hingga akhirnya, belakangan, ketika ramai istilah bisnis online, pengusaha-pengusaha para produsen Batik ini kemudian memilih untuk mulai memasarkan Batiknya melalui jaringan internet. Ada beberapa yang langsung membuka jalur kerjasama melalui internet dengan membuat situsweb, akun media sosial dan seterusnya secara sendiri, ada pula yang sekadar menjadi supplier, di mana kemudian produk-produk mereka dapat dijual-kembali oleh siapapun yang disebut para reseller.

Baik melakukan strategi pemasaran sendiri maupun bekerja sama dengan para reseller, pada intinya pengusaha produsen Batik di Pekalongan merasakan “hal baru” tadi, pembayaran secara kontan. Bahkan, harganya pun kadang bisa lebih tinggi dibanding memasok produk mereka ke pasar-pasar tradisional.

Simbiosis-mutalisme, para reseller pun tak jarang yang kemudian dikenal sukses berkat menjual-kembali Batik milik para pengusaha itu karena mampu meraup keuntungan cukup. Bagaimana tidak, setiap selembar kain Batik, minimal terjual dengan keuntungan antara Rp 10.000 hingga 25.000. Itu minimal. Maka dalam seminggu, jika reseller ini mampu menjual 10 lembar kain saja, mereka sudah cukup berani untuk resign dari pekerjaan tetapnya. Dan tak jarang, pekerjaan tetap mulanya para reseller itu, adalah menjadi Kuli Keceh, yaitu pekerja dengan kelas paling rendah di dunia industri Batik di Pekalongan yang pekerjaannya di seputar pencucian kain Batik, yang dengan bekerja memeras tenaga dari pagi hingga sore mereka diupah paling banyak Rp 350.000. tentu mereka lebih memilih untuk berbisnis online dengan alasan-alasan yang memang mudah diterima: tak selelah menjadi kuli.

Hari ini, saya sebagai warga di Pekalongan, kecamatan Buaran, desa Simbangwetan, merasakan betul bagaimana bisnis online telah “menolong” begitu banyak teman-teman, saudara-saudara, bahkan diri saya sendiri. Melalui bisnis online ini, banyak masyarakat kini memiliki pilihan lain selain sekadar bekerja menjadi karyawan pabrik-pabrik atau kuli-kuli keceh di pranggok (sebutan di Pekalongan untuk bangunan tempat memproduksi Batik). Dengan bisnis online, kita bisa menjual apa saja kepada siapa saja.

Meski demikian, perkembangan bisnis online ini, juga tak jarang dimanfaatkan beberapa orang untuk melakukan tindak kejahatan. Hari-hari ini, di samping merebaknya bisnis-bisnis yang kini di-online-kan mulai dari bisnis makanan hingga transportasi, ditemukan pula kejahatan-kejahatan yang di-online-kan, prostitusi dan paedofilia salah duanya.

Saya kemudian mengira bahwa para pemain dalam ranah online ini perlu dijaga ketat perkembangannya oleh pemerintah. Perlu adanya peraturan-peraturan agar para pengguna internet tidak melakukan bisnis online yang merugikan orang lain. Sudah banyak kasus penipuan berkedok bisnis online ini terlaporkan. Maka kita sendiri juga perlu berhati-hati dan waspada agar tak terjebak ke dalam penipuan-penipuan berkedok bisnis online ini.

Terakhir, saya akan mengutip perkataan Dewa Eka Prayoga, founder sekaligus CEO Bollionaire Corp, yang menyatakan bahwa “Bisnis yang paling bagus bukan hanya bisnis yang menghasilkan uang saja, tetapi juga yang semakin mendekatkan ownernya dengan penciptanya.”

Sekian.

Post a Comment

0 Comments