Advertisement

Responsive Advertisement

Indonesia Dalam Data: Melihat Program Pembangunan Infrastruktur ala Jokowi

Rezim yang tengah berkuasa saat ini, dinilai oleh beberapa pihak sebagai rezim yang memiliki kemiripan dan kesamaan dengan rezim penguasa terlama di negeri ini. Rezim Joko Widodo saat ini, bagi sebagian pihak tadi, memiliki kesamaan dan kemiripan dengan rezim Soeharto atau yang lazim disebut sebagai rezim Orde Baru (Orba). Saya mencoba mengetengahkan pandangan tersebut dalam suatu artikel ini.
ilustrasi. sumber: sv.wikipedia.org

Anggapan atas identiknya rezim Jokowi dengan rezim Soeharto merujuk pada betapa penguasa saat ini amat getol melancarkan program pembangunan infrastruktur. Mengutip tulisan Muhammad Azka Gulsyan di Indoprogress.com pada 13 Maret 2017 lalu, bahwa pada tahun 2017 ini anggaran APBN untuk pembangunan infrastruktur naik sebesar Rp 70,2 triliun dari tahun sebelumnya. Tepatnya, dana APBN untuk infrastruktur tahun ini menyentuh angka sebesar Rp 387,3 triliun. Dana tersebut terbilang relatif besar tidak hanya jika dibandingkan dengan dana anggaran tahun 2016 saja. Jika komparasinya terhadap rezim sebelumnya, nilainya bahkan terpaut cukup jauh.

Pemerintah melalui Perpres Nomor 3 Tahun 2016 mengesahkan rencana pembangunan infrastruktur sebanyak 225 proyek yang terbagi ke dalam wilayah pembangunan bendungan (sebanyak 59 proyek), pembangunan ruas jalan tol (47 proyek), pembangunan kawasan industri (24 proyek), pembangunan pelabuhan (12 proyek), pembangunan sarana dan prasarana kereta api antar-kota (11 proyek), revitalisasi bandar udara (10 proyek), pembangunan infrastruktur kereta api dalam kota (6 proyek), pembangunan bandar udara baru (4 proyek), serta proyek-proyek lain.

Tak hanya itu, pemerintah saat ini juga telah mewacanakan akan menambah setidaknya 78 proyek pembangunan infrastruktur lain. Hal inilah yang kemudian menimbulkan anggapan beberapa kalangan yang menyebut adanya kemiripan antara rezim Jokowi saat ini dengan rezim Soeharto pada masa Orba yang dulu juga getol melancarkan program pembangunan infrastruktur, yang menuai dampak negatif termasuk salah satunya menumpuknya utang Indonesia kepada negara lain.

Kita tahu bahwa alasan utama pemerintah saat ini banyak melakukan pembangunan infrastruktur adalah untuk kemajuan ekonomi. Dalam sebuah pidatonya, Jokowi menyebutkan bahwa salah satu faktor mahalnya suatu komoditi, adalah lantaran kurang memadainya infrastruktur yang ada. Menurut Jokowi, harga-harga kebutuhan semestinya bisa lebih murah jika, misalnya, transportasi di Indonesia tertata dengan baik. Hal inilah yang kemudian mengantarkan pemerintah pada pembangunan besar-besaran di wilayah infrastruktur, terutama pembangunan ruas-ruas jalan tol.

Di samping itu, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution menilai bahwa Indonesia termasuk negara yang ketinggalan dalam hal infrastruktur. Menurutnya, sektor infrastruktur di Indonesia bahkan yang paling ketinggalan dibanding negara-negara lain. Maka menurut Darmin, pembangunan infrastruktur bukan hanya sebagai pendorong ekonomi nasional, tetapi juga akan memberikan pengaruh positif bagi perkembangan antar-daerah.

Dalam Data Statistik, ibukota Indonesia, Jakarta termasuk dalam daftar kota dengan pembangunan berkelanjutan terendah. Jakarta bahkan masuk dalam posisi 15 terbawah dan dianggap sebagai kota yang tidak berkualitas. Dari 100 kota yang disurvei, Ibukota Jakarta itu hanya unggul dari Johannesburg, Mumbai, Wuhan, Manila, New Delhi dan tujuh kota lain di dunia. Demikian menurut data laporan di Databoks-Katadata. Barangkali inilah yang menjadi faktor lain yang membuat pemerintah gencar melakukan pembangunan infrastruktur.

Berikut data mengenai hal tesebut yang saya ambil dari Katadata.
Jakarta termasuk dalam daftar kota dengan pengembangan berkelanjutan terendah. Tabel dari Katadata.co.id

Namun begitu, seperti saya ungkapkan tadi, beberapa kalangan memandang pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini memiliki kemiripan dengan masa-masa orde baru silam. Pemerintah lebih menilai bahwa pembangunan ini penting bagi kemajuan bangsa, namun kurang mempedulikan aspek lingkungan dan masyarakat.

Salah satu yang berkomentar demikian ialah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati menyoroti program pembangunan infrastruktur tersebut dan mengkritiknya sebagai proyek yang menyerupai kepemimpinan masa orde baru. "Menumpukkan infrastruktur untuk strategi ekonomi itu mirip zamannya Soeharto. Ini berdampak besar," kata Nur Hidayati dalam jumpa pers di kantor Walhi, Jakarta pada 20 Nopember 2016 silam seperti yang diberitakan oleh Kompas.

Menurut Nur Hidayati, dampak tersebut di antaranya, menumpuknya utang Indonesia pada luar negeri yang nantinya hal ini akan menjadi tanggung jawab generasi selanjutnya. Kemudian, Nur Hidayati juga menambahkan bahwa pembangunan infrastruktur secara massif juga berdampak negatif bagi lingkungan hidup dan masyarakat.

Namun demikian, menurut Darmin Nasution selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, pembangunan infrastruktur tidak harus dengan utang. Hal ini diucapkannya pada 8 Pebruari lalu di Hotel Fairmount, Jakarta seperti dilansir liputan6.com. Menurutnya, "membangun infrastruktur itu tidak perlu nambah utang, undang saja investor sekalian." Bagi Darmin, dengan mengundang investor maka akan timbul dua kemungkinan yaitu pertama, adanya investasi langsung dan yang kedua, kerja sama dengan perusahaan di dalam negeri.

Diakui atau tidak, dampak negatif dari pembangunan infrastruktur memanglah cukup membahayakan. Di Sukamulya, Majalengka, yang menjadi titik akan dibangunnya suatu bandara, dianggap menimbulkan konflik agraria antara warga sekitar lingkungan tersebut dengan pihak pemerintahan. Kita bisa menyaksikan, bahkan terkadang aparat melakukan tindakan represif terhadap warga yang menolak atas akan dibangunnya bandara di daerahnya. Tentu saja ini merupakan masalah yang semestinya telah dirumuskan solusinya oleh pemerintah.

Dalam laporan akhir tahun 2016 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada sedikitnya 450 kasus konflik agraria. KPA menyebut bahwa konflik agraria yang paling banyak terjadi pada sektor perkebunan di mana permasalahan memang sering tak terselesaikan dengan baik mengenai pembebasan lahan perkebunan yang oleh Andre Barahamin dalam tulisannya di Indoprogress disebut bahwa yang paling menjadi biang keroknya adalah perkebunan kelapa sawit. Artinya, kasus konflik agraria yang paling besar terjadi pada perluasan perkebunan kelapa sawit di mana tercatat seluas 601.680 hektar.

Jika ditotal, kasus konflik agraria yang terjadi pada 2016 tersebut melibatkan cakupan wilayah seluas 1.265.027 hektar. Jika angka ini dirata-rata, maka artinya setiap hari masyarakat kehilangan 7.756 hektar wilayahnya akibat konflik agraria. Itu setara dengan sembilan belas kali lipat dari wilayah DKI Jakarta.

Kasus konflik agraria di tanah air memang terbilang meningkat sejak 2014 hingga 2016. Hal ini tentu saja ada keterkaitannya dengan massifnya rezim saat ini melalui program pembangunan infrstrukturnya. Menurut data KPA, tahun sebelumnya (tahun 2015) konflik agraria terjadi sebanyak 252 kasus dan jika pada 2016 kemarin tercatat ada 450 kasus, maka artinya dalam setahun terjadi peningkatan sebesar 78 persen lebih. Tentu saja peningkatan dalam hal semacam ini bukanlah suatu hal yang layak dibanggakan.

Menyoroti hal ini, dalam Statistik Indonesia, Pemerintah menargetkan sebanyak 5 juta bidang tanah dapat tersertifikasi pada 2017. Pada tahun ini, jumlah tanah yang tersangkut kasus konflik agraria dan belum tersertifikasi sebanyak sekitar 60 persen dari total 120 juta hektar. Langkah sertifikasi tanah ini merupakan langkah pemerintah dalam mengurangi kasus-kasus konflik agraria.

Pada sisi lain, menurut Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati program pembangunan infrastruktur era Jokowi ini dianggap belum memiliki arah yang jelas. Baginya, desain pembangunan infrastruktur pada saat ini masih belum jelas. Di samping itu, menurutnya, masyarakat juga masih kesulitan untuk menemukan dokumen mengenai detail pembangunan yang tengah digalakkan oleh Jokowi.

Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu harus terus mengawal jalannya roda pemerintahan agar segala peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakannya berjalan dengan tidak menggilas hak-hak warganya, terutama masyarakat kecil. Pembangunan infrastruktur yang saat ini menjadi prioritas utama bagi rezim Jokowi, tentu perlu kita dukung sekaligus perlu kita kritisi pula. Tentu kita tidak berharap jika program pembangunan-pembangunan itu hanya akan menyengsarakan rakyat, apalagi sampai meningkatkan angka kemiskinan di negeri ini.

Melalui Indonesia Dalam Angka, kita dapat melihat bagaimana angka kemiskinan di negeri ini masih terbilang cukup tinggi. Dalam tabel yang dirilis Databoks-Katadata, meski angka kemiskinan kita turun 0,36 persen, yang pada Maret tahun 2015 jumlah penduduk miskin kita sebanyak 28,51 juta jiwa (11,22 persen), pada Maret 2016 turun menjadi 28,22 juta jiwa (10,86 persen), namun dengan jumlah penduduk miskin sebanyak itu, cukup mengindikasikan bahwa angka kemiskinan di negeri ini masih terbilang tinggi. Silakan simak tautan berikut ini untuk melihat data statstik lengkapnya.

Kita semua tentu berharap agar angka kemiskinan terus menyusut. Pula, proyek pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintah, ikut mendorong menurunnya angka kemiskinan dan naiknya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita juga berharap agar lesunya ekonomi pada 2 tahun belakang ini segera membaik sehingga rakyat tak terus-menerus menjerit oleh PHK bersamaan dengan masa-masa di mana harga kebutuhan pokok banyak yang terus naik.

Terakhir, mengenai strategi Jokowi meningkatkan ekonomi nasional-yang salah satunya yaitu-melalui pembangunan infrastruktur yang dianggap identik dengan cara rezim orde baru dulu, saya menganggap bahwa hal demikian juga patut kita cermati lebih dalam. Kita perlu mengkaji lebih jauh sejauh mana kesamaan antara dua rezim ini, serta menimbang pula baik-buruknya bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena yang kita harapkan adalah kemajuan bangsa dengan tetap mempedulikan hak-hak warga negaranya, bukan sekadar kemajuan yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir elite.

Semoga baik.

Sekian.

Salam,
Em.

Sumber-sumber:
Databoks (diakses pada 15 Maret 2017)
Indoprogress (diakses pada 15 Maret 2017)
Liputan6 (diakses pada 14 Maret 2017)
Detik (diakses pada 14 Maret 2017)
Kompas (diakses pada 15 Maret 2017)
Konsorsium Pembaruan Agraria (diakses pada 17 Maret 2017)
Andre Barahamin (diakses pada 17 Maret 2017)

Post a Comment

21 Comments

  1. pak jokowi emang terbaik lah, indonesia mungkin kedepannya bakal menjadi negara maju dengan infrastruktur ala pak jokowi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. Iya. Tapi kasus konflik agraria meningkat sejak program pembangunan infastruktur digalakkan oleh Pak Jokowi, gan..

      Delete
    2. bagian dari sisi konsekuensi logis di lapangan krn carut marutnya penataan persoalan agraria di tanah air..tetapi pembangunan yg masif di segi infrastruktur jg di back up dengan langkah-langkah dan program yang terukur di bidang pentaan agraria kt...menunggu hasil dan kualitas saja...

      Delete
    3. Sip. Setuju ka Aswar.

      Delete
  2. semoga indah hasilnya, jadi indonesia lebih enak untuk dipandang :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan tentu juga tidak merugikan rakyat kecilnya. Apalagi sampai menggilas hak-hak rakyat kecil.

      Delete
  3. Kebijakan pemerintah untuk menguatkan sisi infrastruktur di sisi baik memiliki dampak negatif dengan mampu mendatangkan investor asing,, namun sebaiknya pemerintah jiga memperhatikan kondisi rakyatnya, jika kedua hal ini bisa diatasi, maka tidak mungkin bagi Indonesia untuk menjadi negara maju di sektor infrastruktur

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sejak dulu prinsip keberimbangan dan berkeadilan ini memang yang paling belum jelas ejawantahannya, Mas Prayoga. Namun demikian, betul katamu, pemerintah harus mengatasi konflik-konflik yang disebabkan oleh program pembangunan infrstrukturnya itu dengan tepat. Kalau tidak, masalah penggusuran, masalah sengketa-sengketa lahan, akan terus terjadi di mana rakyat kecil lah yang paling tersengsarakan.
      Intinya, pemerintah harus melakukan pembangunan dengan tetap memerhatikan seluruh rakyatnya dan jangan sampai kemudian yang diuntungkan hanya segelintir kaum elit.

      Delete
  4. Kerjasama sama china boleh, sama amerika serikat pun boleh asal jangan import ideologi komunis dan liberal mereka ke negara kita!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. Kalem, bro. Sejauh ini pemerintah masih belum ada gelagat akan mengubah ideologi bangsa. Sejauh ini, Pancasila tetap menjadi ideologi yang dihormati tidak hanya pemerintah, tapi juga rakyat Indonesia. Kalau soal Komunis dan Liberal, saya kedua ideologi itu secara kasat mata pun sudah bertentangan. Keduanya tidak cocok diterapkan di Indonesia. Lagian, sejatinya ada ideologi yang lebih berbahaya dari komunisme dan liberalisme, yaitu nafsuisme. Hehehehe.

      Delete
    2. Yaitulah sam choled nafsuisme kayaknya yg banyak dipakai saat ini, komunisme dan liberalisme diambil yg penak penak aja sesuai kebutuhan.

      Delete
    3. Nafsuisme lebih berbahaya dari komunisme dan liberalisme bener banget bekos nafsuisme itu cenderung seenaknya sendiri , komunisme diambil totaliternya dalam menghadapj pernedaan dan kapitalisme diambil kegemaran ngutangnya yg sundul langit.

      Delete
  5. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  6. semoga penyalonan tahun depan pak jokowi lagi yang menang udah keliatan bagus kinerjanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah.. Ente penggila Jokowi ya, gan? Hehehehe.

      Delete
  7. Hmmm.. Menarik. Saat ini pemerintah memang lagi gencar-gencarnya lakuin program pembangunan infrastruktur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yoi, Sist. Semoga enggak merugikan rakyat aja, yah.

      Delete
  8. Hmm..Mudah2an pemerintah kita khususnya presiden bisa mengatasi masalah ini,karena infra struktur memang penting tapi juga hak rakyat tidak menjadi korban..Kita pro pemerintah tapi ttp harus kritis dg kebijakan yg d nilai kurang menguntungkan rakyat..😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, Komandan. Emang kudu gitu. Pro pemerintah, atau lebih kalemnya menghormati kebijakan pemerintah, tetapi bukan hormat-buta sehingga membiarkannya begitu saja tanpa kritik.

      Delete